Kamis, 20 September 2007

Suasana Terkini dalam Kafe

Suasana Terkini dalam Kafe

Jakarta, Kompas

SUATU sore di Plaza Senayan Jakarta. Di sebuah tempat makan di lantai tiga, tampak sekelompok ibu muda sedang ngerumpi seraya memencet-mencet tombol telepon seluler mereka. Mungkin mengecek apakah anak-anak sudah sampai di rumah. Di meja yang lain terlihat orang-orang film seperti Mira Lesmana, Nurul Arifin, dan Rizal Mantovani sedang ngobrol sambil minum kopi. Di meja yang lain, ada anggota DPR sedang berdiskusi dengan rekannya.

RUANGAN di Magnolia, di mana orang- orang itu sedang menghabiskan sore mereka, didominasi warna putih pada kursi-kursinya. Sementara di langit-langit ruang makan utama ada beberapa kumpulan lampu berbentuk bola-bola yang memendarkan cahaya kekuningan. Di salah satu dinding tampak pola bulatan-bulatan dengan lingkaran tengah berisi cermin dan bulatan-bulatan yang lebih kecil mewadahi botol-botol anggur. "Lampu dan bulatan-bulatan rak anggur itu membentuk pola bunga magnolia," jelas Dian Purba, Direktur PT Citra Ambrosia yang memiliki Restoran Magnolia di Plaza Senayan dan Plaza Kelapa Gading, serta Cinnabar di Jakarta Pusat, mengenai interior restorannya.

Magnolia menjadi salah satu tempat yang beberapa tahun ini semakin meramaikan Jakarta. Berbeda dari tempat makan pada era 10 tahun lalu, tempat makan kini bukan sekadar tempat mengisi perut tetapi juga telah menjadi tempat mencari kelonggaran sejenak dari sesaknya kesibukan sehari-hari.

Tak heran bila penataan interior menjadi salah satu faktor penting yang menjadi perhatian pengelola restoran selain makanan itu sendiri dan pelayanan. Dengan kesan semi-minimalis, Magnolia terasa mewakili kebutuhan berbagai lapisan usia, seperti juga konsep sajian makanan restoran ini yang menyediakan aneka jenis makanan dari gaya Asia hingga Eropa.

Seperti dikatakan perancang interior dan ahli psikologi lingkungan interior Naning Adiwoso, saat ini, di Asia termasuk Indonesia terdapat empat lapisan generasi yang menyusun masyarakat. Mereka yang dilahirkan sebelum tahun 1945, yang lahir antara tahun 1945 1965, mereka yang lahir antara tahun 1965 1980 yang disebut Generasi X, dan generasi yang lahir sesudah tahun 1985 sampai tahun 2000. Masing-masing generasi ini membawa gaya hidupnya sendiri yang akhirnya mempengaruhi juga desain interior karena desain interior dibuat untuk melayani kebutuhan manusia supaya manusia merasa nyaman berada di dalamnya.

SEBAGAI kawasan yang menurut Naning diperkirakan akan menjadi salah satu tempat tumbuhnya bisnis hiburan, tidak mengherankan bila di kota- kota besar Indonesia, terutama Jakarta, secara kasat mata kita bisa menemukan tempat-tempat makan dan kafe bertumbuhan silih berganti dengan cepat beberapa tahun terakhir.

Setelah krisis moneter tahun 1998, salah satu tempat yang menjadi saksi pertumbuhan tempat hiburan adalah Kawasan Tenda Semanggi, yang berada di sentra bisnis Semanggi, Jakarta Pusat. Seperti jamur di musim hujan, lahan kosong di seberang Bursa Efek Jakarta dipenuhi oleh tempat makan yang jumlahnya mencapai 60-an. Seiring berjalannya waktu, kini hanya tinggal 14 kafe yang bertahan di sana.

Salah satu kafe tersebut, Dixie, menurut pemiliknya, Rene S Canoneo (30), sangat memperhatikan tren dalam desain interior untuk bisa menangkap suasana terkini yang menjadi pelanggan kafe yang terdiri dari para profesional muda dan sebagian remaja. "Kafe identik dengan tren. Orang-orang yang datang ke kafe juga orang yang peduli pada tren. Jika dalam tiga tahun tidak ada yang berubah dari kafe itu, maka kafe akan ditinggalkan pelanggan," tutur Rene.

Ketika kafe ini pertama kali didirikan pada tahun 1999, desainnya berbeda dari kafe yang sekarang ada yang didesain ulang pada tahun 2002. Awalnya, demikian Mei Batubara (29), arsitek lulusan Universitas Parahyangan Bandung yang membuatkan desain Dixie, kafe dibuat dengan menggunakan bahan dari kayu karena anggaran yang tersedia hanya Rp 40 juta. Untuk desain Dixie yang menurut Rene merupakan singkatan dari "sediksi-sediksi (sedikit-sedikit) lama-lama jadi bukit", tahun 2002 biaya yang dikeluarkan Rp 235 juta.

Mei menggunakan baja dan besi untuk konstruksi supaya bangunan menjadi lebih kokoh dan awet. Karena anggaran yang terbatas, bahan lain pun dipilih yang bisa mewakili konsep tempat makan yang nyaman, tidak hiruk-pikuk, dan bisa mengobrol santai. Mei menggunakan batu koral untuk lantai bagian dasar bangunan. Kayu reng untuk penyekat dan pengganti dinding tembok pun hanya dicat dengan pernis, sedangkan baja sebagai tiang konstruksi dibiarkan telanjang dengan cat warna hijau pupus dan hanya diberi tanaman rambat untuk melunakkan kesan keras.

Bagian bawah kafe sengaja dibiarkan tanpa dinding sehingga tamu bisa melihat orang berlalu lalang, sementara bagian di lantai atas ditutup kaca dan diberi pendingin ruangan. Lantai ruang atas hanya berupa papan tripleks yang dipernis, tetapi serat-serat kayunya memberi kesan seperti kayu pohon oak ketika ditimpa cahaya lampu dibuat semitemaram meskipun berasal dari lampu TL biasa.

Kontrak sewa tempat di KTS, yang periodenya terbatas, menjadi salah satu pertimbangan Rene dan Mei memakai bahan dan bentuk arsitektur yang mudah diubah. Periode pertama kontrak adalah tahun 1999 2002, sedangkan periode kedua berakhir tahun 2005 meskipun bisa diperpanjang tiga tahun lagi. Dengan memakai baja, Rene merasa tidak terlalu rugi bila Dixie harus dibongkar nanti. "Harga baja bekas masih sekitar 60 persen dari harga baja baru, sedangkan bila memakai tembok hanya akan jadi puing," jela Rene. Selain itu, konstruksi baja yang dilakukan dengan memakai baut ini pun mudah dibongkar-pasang dan dipindah-pindah.

Bila Rene mengatakan konsep kafe perlu berubah setelah setidak-tidaknya tiga tahun, lain lagi pendapat Rizanto Binol, Marketing Manajer Zanzibar. Menurut Binol, kafe di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu tidak pernah berubah sedikit pun interiornya sejak dibuka delapan tahun lalu.

Sejak tahun 1995 kafe ini tetap menggunakan kursi raffles dengan warna merah mahoni yang tidak pernah berganti. Kursi barnya tetap seperti semula dengan alas jok berbahan kulit berwarna hijau dan bagian sandarannya dihiasi kancing logam.

"Lebih dari 50 persen pengunjung Zanzibar setiap hari termasuk pengunjung tetap," begitu Binol memberi alasan mengapa Zanzibar tidak pernah mengubah interiornya selama ini. Masih menurut Binol, para tamu tetap yang telah menganggap Zanzibar sebagai rumah mereka, bahkan ada yang menganggap sebagai rumah pertama, itulah yang keberatan bila interior Zanzibar diubah. "Kami tidak mungkin mengganti interior karena bisa mengganti atmosfer yang sudah terbentuk sejak tempat ini dibuka."

Ruang di mana Zanzibar setiap malam berdegup sebenarnya hanya berupa teras lantai dua sebuah gedung. Teras berbentuk setengah lingkaran itu kemudian diberi atap kaca yang memungkinkan pengunjung melihat langit. Ruangan dibagi dua, bagian pertama berlantai kayu dengan kursi berbahan kayu jati, sementara ruang kedua menggunakan karpet sebagai penutup lantai dengan sofa berwarna coklat. Dindingnya dihiasi mural flora dan fauna, beberapa gambar berupa figur binatang. Plafonnya diberi sentuhan kayu berbentuk partisi, dan sebagian lain diberi kanopi kain yang bila dibuka akan mengantar pengunjung memandang langit dari balik atap kaca.

"DENGAN persaingan yang ketat memang diperlukan sesuatu yang baru setiap kali, tetapi ciri khas dan konsep restoran tetap harus dipertahankan. Jadi, harus hati-hati dalam mengubah, jangan sampai terlihat seperti kehilangan watak," tutur Dian Purba. "Karena konsep kami adalah restoran, maka makanan menjadi unsur utama, lalu ditunjang pelayanan. Desain interior dan musik penting untuk membangkitkan mood, namun touch up terhadap desain tetap harus mengikuti konsep awal. Restoran berbeda dari kafe yang berupa restoran kecil dengan fokus pada minuman, sedangkan untuk disko tampaknya interior lebih penting daripada makanannya," tambah Dian.

Dengan kata lain, desain interior harus disesuaikan dengan target konsumen. Untuk restoran cepat saji jelas makanan harus berporsi besar, murah, dan disajikan cepat, sementara bila target pasarnya konsumen usia 30-an tahun desain interior menjadi penting karena mereka pada usia tersebut biasanya juga sadar mode.

Di Cinnabar, yang merupakan restoran fine dining (makan berseni) di mana orang datang untuk santai dan berinteraksi, kemudian disambung dengan makan, dan bila masih ingin berlanjut bisa diteruskan ke bar yang menyediakan aneka minuman anggur ini, konsep interior disesuaikan dengan konsep makanan yang menekankan pada modern Asia. Dengan demikian desain interior, yang menurut Dian Purba, diwujudkan oleh desainer interior asal Hongkong, Dan Kwan itu, mengambil unsur-unsur Oriental tetapi tidak tradisional. Warna merah, penggunaan kayu dalam warna tua, warna emas pada pintu masuk berbentuk lingkaran ke ruang yang lebih bersifat individu, aksen laci-laci yang mengingatkan pada tempat penyimpan obat, cermin-cermin besar, dan rak anggur menjadi ciri restoran ini.

"Saya memang melakukan touch up pada beberapa bagian restoran, tetapi bukan karena semata-mata ingin berubah. Biasanya bagian yang diberi sentuhan baru itu karena usang akibat tingginya pemakaian. Ketika memberi sentuhan baru, saya pikir kenapa tidak membuat yang baru sekalian tetapi masih sejalan dengan konsep restoran," tutur Dian. Dia mencontohkan, karpet di bagian teras Magnolia Plaza Senayan yang sudah tampak kusam akibat tingginya lalu lintas pengunjung di bagian itu. "Mungkin saya akan menggunakan lantai kayu, bisa juga keramik. Saya harus pertimbangkan yang tidak mengganggu kenyamanan pengunjung," tutur Dian.

Dian menyebut, tidak mendapat masalah dalam urusan mengganti atau memberi sentuhan ulang bahan-bahan interior restorannya, karena hampir semua bahan dipesan di dalam negeri. "Produksi dalam negeri sudah bagus, saya memesan barang-barang untuk restoran saya di Indonesia," tambah dia.


Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar