Sabtu, 15 September 2007

Mewujudkan Rumah Etnik Impian

Mewujudkan Rumah Etnik Butuh Kesabaran

SEBAGAI seorang pekerja seni, Hari Pocang (51) pada awalnya tidak terlalu peduli dengan yang namanya rumah. Yang penting, dia tetap bisa berkarya. Sedangkan tempat untuk tidur tidak terlalu dihiraukan sehingga tidak heran kalau Hari Pocang sebelumnya selalu menjadi "kontraktor" alias berpindah-pindah mengontrak rumah di sekitar Bandung.

SUATU waktu di tahun 1980-an, dia iseng membeli tanah di Kompleks Bukit Sariwangi Ciwaruga, Kavling Politeknik, Bandung. "Ketika itu harganya masih Rp 16.000 per meter persegi. Saya membeli tanah seluas 350 meter persegi," kata Hari Pocang, dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu.

Setelah itu, tanah tersebut dibiarkan begitu saja sementara si empunya tanah asyik bekerja sebagai pekerja seni di Kota Bandung. Demikian pula ketika Hari sudah menikah, tanah tersebut tidak langsung dibangun rumah. Hari Pocang dan istrinya lebih memilih mengontrak rumah untuk beberapa saat.

Baru kemudian pada sekitar tahun 1997, dia berusaha memanfaatkan tanah yang menganggur itu. Namun, itu pun dilakukan karena dia sudah telanjur membeli beberapa material rumah, seperti pintu-pintu kuno yang terbuat dari kayu jati, yang disukainya karena bentuknya yang kuno.

Meski sebelumnya Hari Pocang tidak secara serius untuk membangun rumah, namun karena material sudah telanjur terkumpul, maka jadilah rumah bernuansa etnik itu berdiri di Ciwaruga. Daerah ini terletak di Bandung bagian utara agak ke barat dan berbatasan dengan daerah Cimahi dan Lembang.

LINGKUNGAN di daerah Ciwaruga masih terasa suasana kampung, sementara cuacanya masih relatif dingin sehingga cocok bagi mereka yang ingin membebaskan diri dari suasana hiruk-pikuk kota besar seperti Kota Bandung yang selalu macet hampir setiap hari.

Sejumlah pintu kuno dibeli Hari Pocang ketika sedang traveling ke daerah Jawa Timur. "Merasa tertarik dan saya suka dengan bentuk dan bahannya, kemudian saya beli dan dikirim ke Bandung," ujarnya.

Dari luas keseluruhan tanah seluas 350 meter persegi, yang digunakan untuk bangunan rumah seluas 120 meter persegi. Begitu memasuki rumah Hari Pocang, sangat terasa sekali atmosfer tradisional. Sementara pernak-pernik yang ada di dalam rumah terdiri dari barang-barang kuno serta berbagai benda-benda tradisional yang menjadi ciri khas dari sejumlah daerah di Indonesia.

Misalnya, pada dinding rumah terlihat sejumlah topeng cirebon yang mengilap serta tapis Lampung. Juga terdapat barang-barang kuno seperti jam yang berdiri maupun yang menempel di dinding merek Yunghans yang berdentang setiap 15 menit dan 30 menit sekali. Saat mendengar suara jam berdentang, pikiran langsung menerawang pada keadaan di zaman baheula.

Selain itu, lemari dan meja-meja serta kursi yang terdapat di ruang tamu, juga merupakan barang-barang kuno. Hari Pocang agak terpaksa menempatkan komputer di antara barang-barang kuno tersebut karena dengan begitu nuansa tradisional atau atmosfer etnis di ruang tamu tidak terasakan secara utuh.

Oleh karena itu, suatu waktu nanti, dia ingin memindahkan komputer ke ruang kerja khusus agar kesan "modern" dari kehadiran komputer bisa sedikit dikurangi di ruang tamu. Suasana di ruang tamu rumah Hari Pocang tampak remang-remang, namun jadi terkesan hangat sebagai efek dari penggunaan beberapa lampu kecil (5 watt) yang sengaja dipasang di dinding.

LANTAI dasar ruang tamu rumah ini terdiri dari batu-batu alam yang dikombinasikan dengan plesteran semen. Namun, masuk ke ruangan lain, penghubung dengan ruang belakang, terdapat ruangan santai keluarga dengan lantai yang terbuat dari bahan kayu. Dari ruang tamu ke ruangan santai keluarga ini juga disekat dengan pintu kuno terbuat dari kayu jati.

Keseluruhan dinding rumah Hari Pocang menggunakan batu bata merah. Pada sebagian rumah yang menggunakan batu bata merah biasanya terjadi perembesan terutama pada musim hujan, namun dengan menggunakan lapisan tertentu di rumah milik Hari Pocang tidak terjadi perembesan.

Jika di lihat sepintas dari luar, material yang menonjol pada bangunan rumah ini adalah batu bata merah dan kayu-kayu lama terutama pada bagian pintu dan kusen. Rumah ini juga terkesan asri karena pohon yang merambat dibiarkan hidup di bagian depan rumah. "Namun, sebagian tetangga saya menjuluki rumah seperti rumah seorang dukun," kata Hari Pocang.

Pecahan batu marmer yang diperoleh dari daerah Padalarang tampak dipasang di beberapa bagian rumah. Di rumah pekerja seni ini juga terdapat telepon tua yang diletakkan pada bagian dinding menuju kamar mandi. Secara keseluruhan, rumah Hari Pocang terdiri dari dua kamar tidur dan dua kamar mandi sementara ruang dapur dan kamar pembantu masing-masing satu.

Sebenarnya Hari Pocang menginginkan wastafel di kamar mandi menggunakan material dari batu alam, namun sampai sekarang belum terwujud dan masih menggunakan "wastafel modern". Yang merancang rumah ini, kata Hari Pocang, adalah temannya seorang arsitek yang memiliki wawasan mengenai lingkungan.

KEMUDIAN setelah gambar sket jadi, diteruskan dengan pembuatan gambar teknis rumah. Untuk mewujudkan rumah etnis dibutuhkan kesabaran terutama dalam mengumpulkan benda-benda kuno yang menjadi material atau aksesori rumah tersebut.

Tidak hanya itu, dalam pengerjaan rumah etnis juga diperlukan pengawasan khusus agar para pekerja bangunan bisa benar-benar mewujudkan keinginan si pemilik rumah. Rumah Hari Pocang dibangun oleh sekitar tujuh orang pekerja. "Saya harus ikut mengawasi dan terpaksa agak sedikit cerewet supaya pembangunan rumah tidak melenceng," kata Hari Pocang.

Dengan menempatkan berbagai barang atau benda-benda kuno di rumahnya, Hari Pocang berharap karya dari para leluhur serta nenek moyang bisa ikut dinikmati dan dilestarikan. Sebagian orang yang percaya dengan takhayul menganggap beberapa benda kuno, seperti topeng asli Cirebon ada "isinya", namun bagi Hari Pocang barang-barang tersebut memiliki keindahan yang luar biasa.

Oleh karena itu, kalau dia sering menggosok topeng-topeng Cirebon itu, bukan karena percaya dengan takhayul, tetapi agar tetap tampak indah dipandang mata. Obsesi yang belum terwujud terhadap rumahnya, ujar Hari Pocang, adalah membuat ruang baca khusus.

Suatu waktu, dia akan meningkatkan rumahnya ke atas untuk mewujudkan obsesinya itu. Kalau sekarang banyak dibangun rumah dengan konsep rumah minimalis modern, barangkali rumah milik Hari Pocang bisa dikategorikan sebagai rumah minimalis tradisional. (TJAHJA GUNAWAN)


Search :












Berita Lainnya :

·
Jendela Bukan Sekadar Mata Dinding

·
Efisien, Kiat Para Pemain Properti

·
Menjaring Pengganti Mangunwijaya

·
Mewujudkan Rumah Etnik Butuh Kesabaran








Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar