Minggu, 30 September 2007

Rumah Betang Suku Dayak

Rumah Betang Suku Dayak
di Ambang Kepunahan





SH/Aju

TERAWAT DAN PUNAH – Rumah adat Suku Dayak Tamambaloh di Desa Bali Gundi, Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, adalah salah satu dari rumah adat Suku Dayak yang masih terawat baik. Namun, ada pula rumah adat Suku Dayak yang terancam punah karena termakan usia serta minimnya dana pemeliharaan seperti yang terdapat di Sungai Uluk Apalin, Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.


PUTUSSIBAU – Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) yang terletak di pehuluan Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dari dalam dan luar negeri.

Di samping dikenal sebagai kabupaten konservasi dengan kehadiran Taman Nasional Danau Sentarum sebagai sumber utama resapan air Sungai Kapuas seluas 130.000 hektare dan Taman Nasional Betung Kerihun seluas 800.000 hektare, juga memiliki banyak rumah betang (panjang) Suku Dayak.
Rumah betang Suku Dayak memiliki keunikan tersendiri. Bentuknya memanjang lurus di atas seratus meter, bertiang panggung berketinggian di atas satu meter dan beratap sirap dari kayu ulin. Di dalam rumah betang terdapat puluhan bilik dan satu bilik dihuni satu keluarga. Pintu akses ke dalam mesti melewati tangga dari bawah kolong yang terbuat dari kayu bulat dilengkapi anakan tangga demi mempermudah pijakan.
Karena keunikannya itu, Kantor Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan setempat menetapkan lima unit rumah betang di Kabupaten Kapuas Hulu sebagai cagar budaya. Rumah betang cagar budaya itu berada di Dusun Sunge Uluk Apalin, Desa Nyagau, Kecamatan Embaloh Hilir, di Melapi, Kecamatan Putussibau, di Semangkok, Kecamatan Kedamin, serta di Sungai Utik dan Bukung, Kecamatan Embaloh Hulu.
Rumah betang di Dusun Sunge Uluk Apalin merupakan salah satu rumah adat Suku Dayak tertua di Kalimantan Barat. Interiornya relatif asli, baik bentuk maupun bahan bangunannya. Rumah betang yang didirikan 65 tahun silam mencakup 54 bilik (ruang kamar) dengan panjang 286 meter, tiang panggung dari kayu ulin berdiameter di atas 50 sentimeter dan berketinggian rata-rata delapan meter.
Letaknya yang relatif dekat dari Kota Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, sekitar satu jam perjalanan darat, membuat rumah betang di Uluk Apalin cukup ramai dikunjungi wisatawan. Setiap pengunjung akan disambut ramah, tidak dipungut bayaran dan cukup mengisi buku tamu.
Selama berkunjung, setiap tamu akan disapa penghuni yang kebanyakan orangtua dengan sikap sopan dan bersahabat. Bila berkenan, pengunjung akan disuguhi minum tuak (minuman tradisional dari beras ketan) dan makan sirih karena dianggap menghargai budaya masyarakat lokal.
Rasa kebersamaan dan persaudaraan tampak setiap ada permasalahan yang menimpa salah satu penghuni. Jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia maka masa berkabung mutlak diberlakukan selama satu minggu bagi semua penghuni dengan tidak menggunakan perhiasan, tidak berisik, tidak minum tuak dan dilarang menghidupkan peralatan elektronik.
Sayangnya, karena termakan usia, rumah betang di Uluk Apalin terancam kepunahan, karena kondisi fisik bangunannya yang sudah sangat memprihatinkan. Selain mengalami kerusakan pada fisik bangunannya, keberadaan rumah betang ini pun mengalami ancaman eksternal, akibat pengikisan air sungai di depannya yang semakin hari semakin bertambah. Demikian pula tumbuhan liar yang cukup padat di sekitar rumah betang yang sangat dekat dengan bangunan, menyebabkan kelembaban tinggi di sekitarnya, sehingga turut andil dalam mempercepat proses pelapukan bangunan.
Wartawan SH yang berkunjung ke Dusun Sunge Uluk Apalin belum lama ini menyaksikan sebagian besar atap sirap di beranda depan sudah dalam keadaan bolong. Bagian ruang tamu dan dapur yang dimiliki masing-masing satu kepala keluarga, direhap seadanya, sehingga mengurangi makna artistiknya. Demikian pula fasilitas sanitasi, seperti kamar mandi, kamar kecil, dan pipa air bersih rata-rata mengalami kerusakan, sehingga sebagian besar warga memilih mandi dan buang hajat langsung ke sungai.
Menariknya, setiap penghuni bilik selalu memiliki koleksi barang antik berupa piring keramik, gong, meriam kuno, talam tembaga, dan berbagai bentuk perhiasan Cina dan Belanda yang sudah sangat jarang dijumpai. Para penghuni rumah betang Uluk Apalin dikenal pula memiliki seni budaya cukup tinggi, bisa dilihat dari berbagai bentuk ukiran palung, mandau (parang hiasan untuk berperang Suku Dayak), tombak dan berbagai bentuk anyaman dari rotan.

Terbentur Biaya
Kanisius (59) salah satu penghuni rumah betang di Uluk Apalin kepada SH mengatakan, setiap kali warga yang berusaha berinisiatif melakukan rehab swadaya, selalu terbentur biaya, karena masing-masing kepala keluarga mesti merogoh kantong minimal Rp 15 juta. Nilai nominal yang tidak mungkin dipenuhi para penghuni yang sebagian besar bermatapencaharian berladang berpindah dan penebang kayu di hutan.
”Rahab yang dilakukan kalangan swadaya masyarakat dan pemerintah, kesannya masih bersifat tambal sulam, karena keterbatasan anggaran. Tapi fondasi rumah betang ini sangat kuat, masih mampu bertahan hingga seratus tahun mendatang, sehingga yang paling mendesak direhab adalah bagian atap, teras dan fasilitas sanitasi,” ujar Kanisius.
Rumah betang Uluk Apalin sudah berkali-kali berpindah tempat, karena terdesak ancaman abrasi. Bangunan terakhir ini sudah berusia 65 tahun. Sebagian besar bahan bangunannya berasal dari bangunan rumah betang lama. Ratusan unit tiang panggung yang masih berdiri kokoh sekarang dengan diamater di atas 50 sentimeter, diyakini telah berusia lebih dari 200 tahun!
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, Lintungan Pandji menjelaskan, rehabilitasi rumah panjang di Dusun Sunge Uluk Apalin mesti melewati proses panjang, karena membutuhkan dana di atas Rp 5 miliar. Sejauh ini, memang sudah ada informasi rencana bantuan rehabilitasi bertahap dari UNESCO, kalangan swadaya masyarakat luar negeri dan pemerintah pusat, tapi perlu konfirmasi lebih lanjut.
”Pemerintah sudah bertekad keberadaan rumah betang di Dusun Sunge Uluk Apalin mesti diselamatkan dari kepunahan, karena sudah termasuk dalam cagar budaya yang mesti dilindungi. Tapi prosesnya panjang, sehingga dibutuhkan kesabaran,” kata Lintungan.
Menurut Lintungan, dalam jangka panjang program rehabilitasi rumah betang Uluk Apalin akan lebih ditekankan kepada aspek pengembangan program pariwisata. Implikasinya para penghuni secara bertahap dipindahkan ke pemukiman lain, sehingga rumah betang Uluk Apalin pengelolanya diambil alih pemerintah. Masyarakat penghuni akan diberi kompensasi yang aplikasinya dijamin tetap berpihak kepada rasa keadilan masyarakat.(SH/aju)


Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar