Senin, 17 September 2007

Membangun rumah sederhana

Jurus Jitu Pengembang Sederhana
Bermacam bisnis sudah dilakoni Dwi sejak masih duduk di bangku kuliah. Dari pengalaman itulah, ia mampu menciptakan strategi jitu untuk menjalani bisnis pengadaan rumah sederhana.
Eko Edhi Caroko dan Priyanto Sukandar

Banyak chief executive officer (CEO) kelas dunia yang mengawali bisnisnya ketika masih duduk di bangku kuliah. Sebut saja Bill Gates (Microsoft), Steve Jobs (Apple Inc.), ataupun Michael S. Dell (Dell Inc.) yang merintis usahanya sejak masih berstatus mahasiswa. Bahkan, demi bisnis, mereka lebih memilih meninggalkan bangku kuliah.

Tak kalah oleh mereka, Dwi Bagus Handhoko, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Karka Yasa Profilia, juga mengawali usahanya sejak masih duduk di tingkat satu Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Lelaki kelahiran Solo, 37 tahun silam, ini pun mampu membuktikan dirinya sebagai pengusaha yang sukses. Kini, aset usaha yang dirintisnya selama 14 tahun itu sudah mencapai Rp 77 miliar (per 30 September 2004).

Artikel Lain
Debut Pewaris Kakek Thomson
Ekspansi Strategis Sang Beauty King
Giancarlo Di Risio: Manuver Baru Pilot Versace
Timbul, Tenggelam, lalu Berakhir Sukses
Jurus Jitu Pengembang Sederhana
Perjalanan Sukses Seorang Pemalu
Arti Maaf Seorang Pemimpin
Menyulap Cagar Budaya Menjadi Mal
Subiyono, Sukses Manusia Kulit 1 Juta Dolar
Sukses Akibat Enggan Digaji

Karka Yasa merupakan perusahaan developer yang bisnis intinya membangun rumah sederhana. Karena menyasar pasar kelas bawah, sebenarnya, sektor usaha ini tergolong ”kumuh”. Keuntungan yang dipetiknya pun relatif sangat kecil. Itu jika dibandingkan dengan sektor properti kelas atas yang menyediakan rumah mewah, apartemen, serta pusat perbelanjaan di kawasan ”emas” yang menjanjikan keuntungan besar.

Kendati begitu, Dwi—yang sudah menjalani bisnis ini selama 10 tahun—tak mau ”tergelincir” dari jalurnya. Hingga sekarang, ia tetap saja membangun rumah bagi mereka yang berkantong tipis. Lagi pula, jika memaksakan juga bermain di kelas atas, niscaya, ia akan tergilas oleh kelompok perusahaan pengembang kelas kakap bermodal kuat. Namun, intinya, ”Jika perusahaan ini tetap konsisten membangun rumah sederhana, itu karena memang di situlah keahlian saya,” ujarnya.

Dwi memang tak asal sesumbar. Lihat saja kinerja keuangan perusahaannya, dari tahun ke tahun selalu menunjukkan tren yang meningkat. Selama tahun 2004, misalnya, Karka Yasa mampu membukukan keuntungan sebesar Rp 853 juta, naik ketimbang laba pada tahun sebelumnya yang hanya Rp 704 juta.

Begitu pula prospeknya pada tahun ini. Didorong semakin membaiknya kondisi perekonomian, plus suku bunga bank yang masih rendah serta laju inflasi yang terkendali, Dwi memperkirakan perusahaannya akan mampu mendongkrak volume penjualan rumah sederhana hingga mencapai Rp 62 miliar. Jika target itu tercapai, hampir dipastikan, selama tahun ayam ini ia akan mengantongi keuntungan sebesar Rp 2,115 miliar.

Untuk menggapai target tersebut, Dwi tentunya telah menyiapkan strategi pemasaran yang jitu. Di antaranya, ia tidak akan menjualnya secara ketengan, tapi dengan cara borongan. Cara ini harus ditempuhnya lantaran laba yang dipetiknya terbilang kecil. Dari setiap unitnya berkisar antara Rp 3 juta dan Rp 5 juta. Dwi pun harus menggenjot volume penjualan lebih besar, yang setiap tahunnya ditargetkan rata-rata 1.500 unit rumah.

Karena itu, target pasar yang dipatoknya adalah kalangan perusahaan yang membutuhkan rumah dalam partai besar untuk perumahan karyawannya. Dengan cara ini, dijamin semua rumah yang dibangunnya pasti terjual. Dus, kunci suksesnya, menurut sarjana ekonomi lulusan tahun 1992 ini, membangun rumah harus berdasarkan pesanan. Salah satu contohnya ketika ia berhasil memperoleh order senilai Rp 2 miliar untuk membangun ratusan unit rumah di Bojong Gede, Bogor, tempo lalu bagi perumahan karyawan perusahaan taksi Blue Bird.

AWALNYA, BIDANG USAHANYA MASIH SERABUTAN
Sebaliknya, jika dijual secara ritel, persoalannya bisa jadi rumit. Supaya calon pembeli mau datang, rumah sudah harus dibangun. Untuk itu, Dwi harus mengeluarkan modal tak kecil. Biasanya modal ini diperoleh dari pinjaman bank.
Nah, masalahnya mulai muncul jika produk yang ditawarkan itu tak jua disambar peminat. Jika rumah tidak laku dalam sebulan, menurut perhitungan Dwi, keuntungan yang ditargetkan dari tiap unitnya akan berkurang Rp 500 ribu.

Jika masa paceklik ini berlangsung selama tiga bulan, dipastikan seluruh laba yang sudah ditargetkan akan melayang. Lebih dari itu, giliran modal yang akan amblas.
Debut perdananya di dunia bisnis dimulai sejak 1987, ketika Dwi bersama rekan-rekannya mendirikan CV Karya Kencana. Motivasinya sederhana saja, mencari tambahan untuk uang saku. Bidang usahanya bisa dibilang tak jelas alias serabutan. Yang penting ada order yang bisa digarap. Mulai dari membuat andong, event organizer pertunjukan musik, menerbitkan tabloid, dagang batik, mencetak batako, hingga menjual jasa konstruksi. ”Pokoknya apa yang bisa menghasilkan, pasti kami kerjakan,” tutur Dwi.

Proyek yang agak serius baru diperoleh—yakni membuat batako untuk pabrik budi daya jamur senilai Rp 16 juta—setelah perusahaan itu berjalan selama tiga tahun. Disebut agak serius karena Dwi harus menandatangani kontrak kerja. Modal awalnya dari iuran tiap orang Rp 250 ribu, plus hasil penjualan mobil milik Dwi. Karena mereka masih tergolong awam, pengerjaan proyeknya jadi semrawut. Di antaranya, Dwi harus pontang-panting mencari pinjaman untuk membayar gaji pembuat batako.

Namun, dari pengalaman buruk itulah Dwi jadi mafhum bagaimana menjadi seorang wirausaha. Nyatanya, setelah itu, usaha patungan itu makin sibuk mengerjakan proyek jasa konstruksi. Mulai dari mengaspal jalan hingga membuat patung. Sampai akhirnya, perusahaan itu mampu memiliki aset tanah sekitar 2 hektare di daerah Ngentan, Solo.

Berbekal pengalaman menjadi kontraktor, Dwi pun berkeinginan membangun rumah di atas lahan tersebut. Karena keterbatasan modal, ia hanya memiliki pilihan membangun rumah untuk kelas bawah. Saat mengerjakan proyek ini, tepatnya tahun 1994, perusahaan pun diganti namanya menjadi PT Karka Yasa Profilia. Modalnya adalah pinjaman dari Bank BTN senilai Rp 400 juta. Duit sebanyak ini digunakan untuk membangun sekitar 200 unit rumah. Ternyata usaha ini sukses, dan modal pinjaman sudah bisa dilunasi hanya dalam waktu dua bulan.

Setelah itu, usahanya makin berkibar. Lahan yang digarapnya meningkat menjadi 5 hektare. Rumah yang dibangunnya pun bertambah hingga 500 unit. Dari setiap unit rumah yang dijual, Dwi dan teman-teman mendapat keuntungan sekitar Rp 2,5 juta. Rupanya, lelaki yang kini menjadi ayah satu anak ini memiliki bakat bisa membaca kebutuhan konsumen secara jeli.

Prospek bisnis rumah sederhananya, tampaknya, akan semakin cerah. Pasalnya, karena kebutuhan pasar akan tempat tinggal yang layak dan murah—seiring makin bertambahnya keluarga baru—tidak akan pernah padam. Peluangnya semakin terbuka karena didorong oleh program pembangunan sejuta unit rumah sederhana di seluruh Indonesia selama 2005 yang dicanangkan pemerintahan SBY. Dus, dilihat dari itu semua, kayaknya, bisnis pria yang cukup ulet ini akan makin berjaya.

Majalah Trust/Profil/15/2005
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar