Sabtu, 22 September 2007

Membangun Rumah Rakyat Baru Sebatas Komitmen

Membangun Rumah Rakyat Baru Sebatas Komitmen

MENGAPA apartemen? Mengapa bukan membangun rumah sederhana atau rumah susun?

INILAH pertanyaan yang kerap mengemuka di kalangan masyarakat menengah ke bawah tatkala melihat gencarnya pembangunan apartemen, servis apartemen, dan town house (rumah bandar) di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Para pengusaha swasta yang membangun apartemen mewah tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka memenuhi permintaan pasar. Publik yang mempunyai uang memberi sinyal ke pasar, lalu para pengembang menyuplai pasar. Begitulah yang terjadi selama ini sehingga di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, kecuali Kepulauan Seribu, dibangun apartemen. Di Surabaya, fenomena tersebut mulai tampak sehingga kota kedua terbesar di Indonesia itu kelak akan seperti Jakarta, penuh dengan apartemen jangkung.

Hal yang menarik diamati, mengapa pemerintah tidak mendorong swasta membangun rumah susun dan rumah sederhana, sebagaimana pernah menggejala di era Orde Baru Soeharto. Ketika itu ada konsep besar 1-3-6 (besar, menengah, dan sederhana) yang dipopulerkan dan setengah dipaksakan pemerintah. Namun, kendati setengah dipaksakan, konsep yang dimunculkan Menteri Perumahan (waktu itu) Akbar Tandjung dapat berjalan lumayan baik. Cukup banyaknya rumah sederhana, di antaranya tampak di kawasan Bintaro dan Bumi Serpong Damai, Tangerang, mencerminkan cukup berjalannya program 1-3-6 tersebut.

Debat tentang konsep 1-3-6 ini muncul lagi tatkala pemerintah tahun 2004 mencanangkan program infrastruktur dan pembangunan sejuta rumah untuk rakyat. Ada tuntutan menghidupkan kembali konsep itu, untuk memenuhi kebutuhan rumah penduduk.

Tuntutan itu dibarengi ajakan agar penegakan hukum dilakukan dengan amat baik. Pemerintah sebagai pencipta regulasi dan sekaligus penegak hukum semestinya bergerak cepat menempuh jalan penegakan hukum. Sisi inilah (selain tentu saja sosialisasi yang buruk) yang diabaikan pada era Orde Baru Soeharto sehingga program itu tidak berjalan optimal.

Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum menyebabkan para pengembang bertindak suka-suka. Mereka mengabaikan kewajiban konsep 1-3-6 sebab toh tidak ada tindakan apa-apa dari pemerintah.

Repotnya, di tengah suasana yang tidak bersahabat ini, pemerintah pun "tidak pandai" memberikan penghargaan atau pujian yang memadai kepada para pengembang yang bersedia menjalankan konsep 1-3-6 dengan taat. Tiadanya reward dan tidak datang-datangnya insentif akhirnya membuat pengembang enggan meneruskan konsep tersebut.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perumahan untuk rakyat berpenghasilan menengah ke bawah membuat persentase atau jumlah kekurangan rumah terus bertambah dari tahun ke tahun. Di DKI Jakarta saja jumlah penduduk tahun 2004 mencapai 10 juta jiwa (dengan pertumbuhan penduduk 1,4 persen per tahun). Kebutuhan rumah akibat pertumbuhan itu sebanyak 35.000 unit per tahun. Itu artinya, DKI Jakarta harus membangun 35.000 rumah baru per tahun. Jumlah ini belum termasuk rumah untuk penduduk yang masih menumpang pada orangtua, penganggur di rumah kontrakan, gelandangan, dan sebagainya, yang mencapai lebih kurang 150.000 rumah. Bisa dibayangkan berapa total rumah yang mesti dibangun hanya di wilayah DKI Jakarta saja.

Dengan latar belakang ini, pembangunan rumah untuk rakyat sudah harus dimulai sekarang juga sehingga niat membangun sejuta atau dua juta rumah tidaklah sebatas komitmen. Penundaan pembangunan rumah hanya akan mengakibatkan jumlah rumah yang harus dibangun terus bertambah secara signifikan.

PERSOALAN ruwet yang bakal menghadang ialah bagaimana menghadirkan rumah untuk warga berpenghasilan menengah ke bawah. Kalaupun pemerintah ingin membangun, dari pos mana anggaran itu diambil. Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara? Bisa saja, tetapi saat ini saja pemerintah menderita defisit anggaran puluhan triliun rupiah. Menambal defisit anggaran saja sudah amat sulit, bagaimana harus menyediakan pos anggaran baru untuk rumah sederhana sehat rakyat?

Masalah menjadi lain seandainya pemerintah nekat menaikkan harga bahan bakar minyak secara sangat signifikan sehingga otomatis mengurangi subsidi anggaran. Jika ini yang terjadi, masih ada kemungkinan membangun rumah sederhana untuk rakyat. Namun, di sisi lain, pemerintah akan mendapat kritik yang amat keras dari rakyat karena bahan bakar minyak merupakan komoditas yang supersensitif kalau dinaikkan.

Selain pemerintah, swasta pun menghadapi masalah yang sama. Dari mana swasta mengambil anggaran untuk membangun rumah murah dan sederhana? Jika pun ada anggaran, berapa banyak pengembang yang bersedia membangun rumah sederhana, ketika begitu banyak pengusaha berlomba-lomba membangun apartemen, mal, dan pusat perdagangan yang amat menguntungkan itu?

Dalam praktik, membangun rumah sederhana, bahkan rumah susun sederhana, tidak bisa dipandang ringan karena biaya yang diperlukan untuk itu sebetulnya tidak terpaut jauh dengan rumah tidak sederhana. Mengapa? Rumah sederhana dibangun di atas tanah yang relatif sama harganya dengan rumah tidak sederhana. Lalu konstruksi bangunannya sama, begitu pula dinding dan penopang atap rumahnya. Hal yang membuat dua jenis rumah tersebut berbeda harganya hanyalah luas rumah, ornamen, aksesori, dan bahan-bahan penopang lain.

Seorang insinyur sipil atau kontraktor tidak mungkin membangun rumah dengan konstruksi minus hanya karena rumah yang dibangun adalah rumah sederhana. Ia mesti menggunakan semen, beton, besi beton, dan balok yang standar sebab kalau bercanda dengan hal ini, rumahnya bisa ambruk. Ambruknya rumah bisa menamatkan reputasi pembangun rumah itu.

Lalu celah apa yang bisa digunakan agar rumah sederhana itu bisa dibangun dengan murah oleh swasta?

Teori yang paling lazim dipakai adalah pemerintah memberikan insentif yang favorable untuk para pengembang. Insentif itu bisa berupa bebas biaya izin membangun, bebas pajak penjualan, bebas memperoleh ruang publik, bebas biaya sertifikat, kemudahan mendapat kredit bank, dan harga tanah yang relatif murah (khususnya tanah pemerintah).

Dengan kemudahan-kemudahan itu, swasta terangsang membangun rumah murah untuk rakyat. Tanpa insentif ini, sungguh repot mengharapkan peran swasta. Apalagi kalau swasta diminta melepas satu unit rumah dengan luas tanah 70 meter dan luas bangunan 36 meter persegi, dengan harga Rp 40 juta sampai Rp 50 juta.

Harga tanah di pinggiran Jakarta saja kini minimal Rp 500.000 per meter persegi. Tujuh puluh (meter) persegi dikalikan Rp 500.000 sama dengan Rp 35 juta. Ini, harap diketahui, masih harga tanah. Kalau nilai bangunan diasumsikan sama dengan Rp 1 juta per meter persegi, maka 36 (meter luas bangunan) dikalikan Rp 1 juta sama dengan Rp 36 juta. Nilai Rp 35 juta ditambah Rp 36 juta sama dengan Rp 71 juta.

Lalu, apakah pemerintah atau swasta akan menjual rumah sederhana dengan harga sebesar itu? Harga tersebut tentu saja masih amat mahal. Harga yang mungkin favorable untuk rakyat kecil adalah Rp 35 juta per rumah. Artinya, mesti ada tindakan memotong harga rumah atau pemerintah melakukan subsidi atas rumah itu.

Apakah pemerintah mampu dan mau melakukannya? Di sinilah letak persoalannya. Cuma, yang patut diketahui, konstitusi memerintahkan rezim yang berkuasa untuk memberikan papan kepada rakyat. Konstitusi juga memerintahkan penyelenggara negara untuk memerhatikan fakir miskin. Kalau masalah ini dikuakkan lebih jauh, pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan rumah layak huni kepada rakyat kecil yang tidak mampu.

Indonesia memang belum menuju tahap welfare state, sebagaimana telah diraih banyak negara maju dan beradab. Kendati belum mampu melakukannya, Pemerintah Republik Indonesia amat perlu mempertimbangkan untuk melakukannya dalam waktu yang tidak lama. Selama ini pemerintah lebih asyik menggusur penduduk. Sudah waktunya pemerintah memikirkan memukimkan penduduk yang tergusur-gusur itu.(AS)

Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar