Rabu, 26 September 2007

Kenaikan Harga Rumah Selalu di Atas Inflasi

Kenaikan Harga Rumah Selalu di Atas Inflasi

PADA awal tahun 1990, Muammar Ali Riyad (40) membeli sebuah rumah dengan luas tanah 120 meter di sebuah perumahan kelas menengah di Jalan Raya Joglo, Jakarta Barat. Nilai rumah dengan luas bangunan 71 meter itu Rp 45 juta.

Ali ingat betul bahwa kurs dollar AS pada Januari tahun 1990 "hanya" Rp 1.801 per dollar AS. Gajinya sebagai pegawai percetakan Rp 430.000 per bulan. Kini gajinya sudah mencapai Rp 4,3 juta. Pada masa itu ia ingat betul bahwa sejumlah perumahan berani memberi hadiah undian mobil bagi pembeli yang beruntung.

Pada tahun 1991, Ali terkejut karena harga rumah dengan tipe yang sama dengan rumahnya sudah melonjak menjadi Rp 95 juta. Selanjutnya tahun 1997 (ketika kurs mencapai Rp 2.384 per dollar AS) harga rumah itu menjadi Rp 230 juta dan sekarang melonjak lagi menjadi Rp 370 juta. Menurut Ali, dengan harga tersebut pegawai seperti dia sulit membeli rumah dengan tipe seperti itu. Harga rumah yang sudah Rp 370 juta tampaknya akan naik lagi karena kini muncul perkiraan kenaikan harga rumah sebesar 15 sampai 20 persen (Kompas, 24/2).

Jika perkiraan kenaikan harga ini terjadi, rakyat kecil atau masyarakat dengan golongan penghasilan menengah ke bawah akan makin sulit mendapatkan rumah layak huni. Selama ini, rakyat kecil di Ibu Kota sudah makin sulit mendapatkan rumah di wilayah Jakarta yang terjangkau oleh kantong mereka. Harga rumah melonjak seiring dengan melambungnya harga tanah per meter persegi serta harga pendukung pembangunan rumah, seperti paku, semen, pasir, seng, keramik, kaca, kayu, dan biaya tenaga kerja. Faktor menentukan lainnya, inflasi dan kenaikan harga kerap jauh lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan pendapatan para calon konsumen rumah.

SOLUSI yang ditempuh warga berpenghasilan menengah ke bawah adalah membeli atau tepatnya mengkredit rumah di pinggiran Jakarta. Tetapi, dalam perkembangannya kemudian, warga tidak mampu lagi membeli rumah di tepian Jakarta. Sebab, rumah di tepian Jakarta pun makin mahal dan makin mahal lagi. Maka, tak ayal rumah yang dibeli adalah rumah yang terletak jauh dari Jakarta, biasanya berjarak antara 35 kilometer-70 kilometer.

Jauhnya jarak rumah ini pada gilirannya membuat persoalan makin pelik. Mereka harus bangun pagi untuk mencapai lokasi kerjanya di pusat Kota Jakarta. Mereka menembus kemacetan pinggiran Kota Jakarta yang beberapa tahun terakhir makin edan. Perjalanan dari perbatasan Jakarta-Bekasi ke Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, yang enam tahun lalu paling lama satu jam kini menjadi tiga jam.

Perjalanan yang lama dan jauh bukan hanya membuat lalu lintas makin macet dan biaya perjalanan makin mahal, tetapi juga membuat para pekerja itu sudah lelah ketika tiba di kantor. Tenaga mereka banyak terkuras selama dalam perjalanan.

Jika masalah ini hendak dikuak lebih lebar, pasti akan merembet ke mana-mana, termasuk soal pemiskinan warga. Warga yang berdomisili jauh dari Jakarta, tetapi mencari makan di jantung Jakarta, menanggung beban kelelahan, stres, dan ongkos tinggi untuk merengkuh lokasi kerja. Hasil perasan keringat mereka hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali yang dapat didepositokan karena habis terpakai untuk biaya transportasi. Inilah soal mendasar yang agaknya sama sekali kurang mendapat perhatian publik, korporat, dan pemerintah.

Dalam situasi begini, ada gagasan bernas untuk mengajak warga yang berdomisili jauh di tepian Kota Jakarta untuk memilih berdiam di apartemen. Dengan tinggal di apartemen, warga tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Bahkan, lebih dari itu, mereka bisa berjalan kaki ke kantor dan menghemat ongkos transpor.

Persoalannya, tidak semua warga siap tinggal di rumah tinggi yang tidak bersentuhan dengan tanah. Tidak semua warga bisa mengerti bahwa mereka mesti lebih banyak berbagi dengan warga lain kalau berdiam di apartemen. Di sisi lain, harga apartemen, terutama di sentrum Kota Jakarta, amat jauh dari jangkauan. Ada apartemen yang dilepas dengan harga Rp 2 miliar ke atas. How high can you go?

Beberapa pengembang kelas atas sebetulnya mencoba menembus persoalan harga dengan membangun apartemen yang lebih murah, misalnya di Pos Pengumben, Kemayoran, Tanjung Duren, dan Kelapa Gading. Tetapi, karena harga untuk ukuran kecil (40-an meter) masih di atas Rp 200 jutaan, tawaran ini tidak terlampau banyak mendapat sambutan publik menengah ke bawah. Para pengembang sendiri tidak bisa mematok harga lebih rendah karena harga tanah yang mereka peroleh pun sudah sangat tinggi.

Solusi paling bagus ialah kalau pemerintah turun tangan dengan memberi banyak insentif dan subsidi bagi warga dan pengembang. (AS)


Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar