Kamis, 20 September 2007

Rumah Tahan Gempa, Modifikasi Warisan Nenek Moyang

Rumah Tahan Gempa, Modifikasi Warisan Nenek Moyang

Oleh Miskudin Taufik

Empat bulan lalu, sebuah ruangan luas di kota Padang menjadi saksi ketika peserta seminar berapi-api mengemukakan gagasan tentang pembangunan rumah tahan gempa (earthquake resistant non-engineered housing).

Tapi, ruang itu pula yang kemudian menjadi tontotan mengenaskan beberapa saat setelah gempa bumi Bengkulu yang mengguncang kawasan lempeng Indo-Australia pada Rabu (12/9).

Ini bukan sekadar faktor kebetulan, tetapi musibah yang datang silih berganti setelah tsunami Aceh atau gempa Yogyakarta seakan menguji para pakar tehnik sipil dunia untuk membuktikan ketangguhan argumentasi masing-masing tentang pembuatan rumah yang benar-benar tahan gempa.

Dari rangkaian musibah yang masih melekat ingatan bangsa Indonesia, bangunan rumah tradisional yang diwariskan nenek moyang benar-benar didapati paling minimal dampak kerusakan akibat guncangan dibanding rumah yang direkayasa secara moderen itu.

Bangunan joglo lama yang biasa ditemukan di pulau Jawa, rumah gadang di Sumatera Barat atau rumah bubungan tinggi yang kini masih tersisa di pulau Kalimantan, membuktikan ketangguhan rekayasa konstruksi yang memiliki daya lentur dan soliditas saat terjadi guncangan gempa hingga berkekuatan di atas 8 skala richter.

Warisan arsetiktur nenek moyang itulah yang kemudian dimodifikasi para insinyur untuk membuat prototip rumah tahan gempa di Indonesia, baik yang datang dari inovasi perguruan tinggi, perusahaan swasta maupun pakar tehnik konstruksi dari pemerintah.

Pusat Penelitian dan Pembangunan Permukiman Departemen PU misalnya, menawarkan hasil modifikasi dengan memberi nama rumah instan sederhana sehat (risha) dengan ajang percobaan di lahan yang porak poranda di wilayah bekas guncangan gempa bumi di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Rumah sederhana tahan gempa itu, belum teruji ketangguhannya tetapi dinilai layak untuk dikembangkan pasca-gempa karena proses pembangunannya berlangsung cepat dan massal.

Modul rumah jenis itu dikaitkan kepada alasan teknis dengan mengacu kondisi Indonesia sebagai kawasan geologi paling dinamis di dunia.

Lempengan bumi Nusantara diasumsikan selalu akan mendapat musibah lantaran sebesar 70 persen sampai 80 persen daerah pesisir Indonesia menghadap ke zone subduksi yang rentan gempa bumi, tanah longsor, tsunami dan banjir, selain fakta tentang adanya 129 gunung berapi aktif yang setiap saat meletus.

Belajar dari pengalaman musibah tsunami 26 Desember 2004 lalu, Akademi Tehnik Mesin Industri Surakarta pernah menawarkan bentuk rumah tahan gempa dengan konsep konstruksi smart modula, rekayasa rumah yang tadinya menjiplak konsep rumah kontainer di pertambangan Amerika Latin dengan memadukan rumah tradisional Indonesia tanpa fondasi tetapi berdiri di atas umpak.

Dari beberapa kali guncangan gempa hingga 8,3 skala richter, konstruksi tersebut mampu memperlambat ambruknya seluruh bangunan karena fungsi dinding bukan sebagai penahan beban tetapi bertumpu kepada struktur kolom dan pilar baja yang diikat baut hingga mampu mengiringi gaya tekan horizontal maupun vertikal.

Tentunya tidak semua rakyat miskin apalagi setelah ditimpa musibah mampu memiliki jenis rumah itu, namun kelebihan jenis konstruksi smart modula terletak kepada proses pembangunannya yang hanya memerlukan hitungan hari hingga banyak pihak merekomendasikan cocok untuk fasilitas umum seperti perkantoran, rumah sakit, atau asrama.

Seperti rumah contoh yang dibangun di beberapa lokasi bekas tsunami di Aceh, jenis rumah tahan gempa tersebut pada dasarnya sama dengan rumah-rumah tradisional lama yang memiliki denah bangunan yang satu sama lain terpisah sehingga apabila terjadi guncangan hebat maka tidak seluruh bangunan runtuh seketika. Selalu ada selang waktu untuk memberi kesempatan kepada penghuni menyelamatkan diri.

Dalam sejarah gempa, musibah gempa dan tsunami pertama kali dicatat pada 23 Januari 1556 di China berkekuatan 8 skala richter dengan menewaskan 830.000 jiwa, lalu terulang 200 tahun kemudian di Iran.

Kejadian serupa terus berulang di sejumlah negara, termasuk catatan kolonial Belanda tentang meletusnya Gunung Tambora di provinsi NTB tahun 1815 dengan kekuatan 6 Juta kali lebih dahsyat dari bom atom atau meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883 dengan bunyi dentuman terdengar sampai ke Singapura dan Australia kemudian disusul gelombang tsunami setinggi 20 meter.

Para geolog mencatat gempa terbesar berkekuatan 9,5 skala richter pernah terjadi pada 22 Mei 1960 di Chile hingga meluluh lantakkan kota Santiago dan Cencepcion namun korban jiwa hanya 5.000 orang.

Jangkauan gempa tektonik paling luas terjadi 26 Desember 2004 berkekuatan 8,5 skala richter di Aceh dengan disertai gelombang tsunami yang menyapu wilayah pantai Sumatera, Sri Langka, India, Bangladesh, Maladewa, Thailand dan Malaysia dengan menelan korban di atas 200 ribu jiwa. (*)



Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar