Senin, 06 Agustus 2007

Sederhana itu Mahal

Hunian bergaya simpel dan ringkas semakin digemari. Tapi, ironisnya, tidak murah.

TIDAK ada perabot di ruang tamu itu. Di balik pintu masuk rumah Jane Budiwarman, manajer perusahaan fotografi, para tamu tak menemukan sofa empuk yang siap menyambut. Ruang tengahnya pun, seluas 60 meter persegi, berkesan senyap. Hanya ada sebuah sofa di satu sudut dan seperangkat meja makan. Dinding ruang itu kaca tembus pandang menuju halaman belakang berisi kolam jernih yang memantulkan dinding-dinding serba putih.

"Ini gaya desain interior yang simpel, dan minimalis," kata Jane. Bersama suaminya, Barny, eksekutif perusahaan komputer, Jane sengaja memilih model interior yang tidak neko-neko—tidak banyak perabot, tidak banyak warna.

Lupakan rumah besar dengan perabot besar dan tiang bergaya ornamen Romawi atau Spanyol. Yori Antar, seorang arsitek di Jakarta, mengatakan hunian minimalis yang ringkas seperti milik Jane itu justru kini sedang digemari masyarakat perkotaan, khususnya kalangan "pasangan muda yang bekerja, mapan, dan berpendidikan."

Tidak selalu berarti hunian seperti itu murah dan mudah dibuatnya. Jane mengaku sempat lama menimbang arsitek mana yang bisa menerjemahkan keinginannya. Dan pilihan akhirnya jatuh pada arsitek Andra Matin, perancang Gedung Leboye, gedung perkantoran dengan gaya minimalis di kawasan elite Kemang, Jakarta.

Pasangan muda lain, Deddy Sudarijanto dan Dianasari, membiarkan dinding rumahnya hanya diplester semen telanjang—konsep minimalis lain. Rumah putra Cacuk Sudarijanto (bekas Direktur PT Telkom dan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional) itu berkesan belum selesai dibangun. Tapi ini tak menjadi soal.

Ada sebuah kolam jernih kecil menyambut tamu di pintu masuk rumah itu. Di ruang tamunya hanya ada sebuah bangku empuk dan dua kursi kayu. "Kami pikir buat apa melengkapi ruang tamu dengan sofa," kata Diana, yang merancang sendiri rumahnya dibantu beberapa temannya, "Toh, tamu kami adalah teman-teman kami sendiri."

Diana menghindari banyak perabot untuk memberikan ruang lebih lega bagi kedua anaknya yang masih kecil, agar leluasa bermain. Diana juga mengaku bosan dengan rumah model lama seperti milik ibunya di kawasan Menteng, yang penuh perabot besar dan berukir.

Desain arsitektur minimalis tak hanya menjadi tren di rumah-rumah tinggal. Toko Buku Aksara di bilangan Kemang, misalnya, juga memilih desain sederhana ini. Pemiliknya, Winfred Hutabarat, juga memilih arsitek Andra Matin untuk merancang ruang toko yang modern, lega, terang, efisien, dan tidak banyak pernik. Lantainya cukup dari semen plesteran. Rak-rak buku diatur seringkas mungkin di bawah lampu terang-benderang sehingga memudahkan pencarian buku. Tiang dan plafonnya sangat miskin ornamen. Bahkan lampu gantungnya pun dibuat dari pipa paralon.

Konsep desain "sederhana itu indah" sebenarnya tidak sama sekali baru. Muncul pertama kali pada era modernisme 1950-an, mazhab arsitektur "less is more" itu dipelopori oleh Mies van de Rohe, arsitek Jerman. Pada masa itu, seusai Perang Dunia II, banyak kota luluh-lantak dan butuh waktu cepat untuk membangun kembali gedung-gedung. Memanfaatkan material yang bisa diproduksi massal dan dengan anggaran yang minim, para arsitek membangun kembali kota dengan menekankan aspek fungsional seraya mengorbankan estetika. Mereka membuang detail-detail yang tidak jelas fungsinya, baik pada pintu, jendela, tiang, maupun elemen lain. Mereka juga memangkas ornamen seperti ukiran dan pahatan. Simpel.

Namun, menurut Yori Antar, istilah minimalis sendiri baru dikenal ketika arsitek Inggris, John Pawson, menerbitkan buku berjudul Minimum pada 1980-an. Di sini, semua konsep desain modern milik Mies diserap kembali.

Pada 1990-an, konsep minimalis diperkaya oleh khazanah arsitektur Jepang. Dihadapkan pada kenyataan mahalnya lahan, para arsitek Jepang dikenal sangat kreatif dan efisien memanfaatkan ruang sempit tanpa menanggalkan unsur-unsur Zen yang menekankan keseimbangan. Kayu yang memberikan kesan sederhana dan ringan juga menjadi karakter utama arsitektur negeri itu—negeri yang sering diguncang gempa dan menuntut warganya senantiasa waspada—mengabaikan banyak hal yang berbau permanen.

Di Indonesia, gaya ini mulai marak pada 1990-an ketika banyak profesional muda pulang dari sekolah di luar negeri. Tapi, menurut Yori Antar, pengertian minimalis di Indonesia sendiri sudah bergeser dan cenderung salah kaprah. "Di sini, minimalis cenderung sekadar menjadi fashion atau tren gaya hidup," katanya.

Padahal, menurut Yori Antar, minimalis adalah sebuah totalitas desain yang memiliki landasan filosofi tertentu. "Minimalis itu seperti pengekangan diri atau seperti orang Jawa melakukan mutih, yaitu puasa hanya menyantap yang serba putih dan hambar," katanya, "Dalam konsep minimalis, yang enggak diperlukan enggak usah dibuat atau diada-adakan. Kalau hanya butuh satu kursi dan meja, ya, hanya satu itu yang disediakan."

Menurut Yori, arsitektur rumah Jane dan Toko Buku Aksara tidak bisa disebut memiliki konsep minimalis murni. "Saya cenderung menyebut rumah Jane itu mengandung simplicity, kesederhanaan, karena tidak semua unsur minimalis diserap," katanya.

Yori sendiri kini sedang mengerjakan sebuah rancangan hunian modern di kawasan mewah Pondok Indah. Dan dia mengaku "agak kesulitan bisa benar-benar menerapkan konsep minimalis di sini." Jika minimalis benar-benar diterapkan, rumah itu hanya akan menyerupai kubus, berisikan satu tempat tidur dan seperangkat meja-kursi. "Pemilik rumah tidak akan betah tinggal di dalamnya," katanya.

Lebih dari itu, menurut Yori, desain hunian di alam tropis seperti Indonesia tidak bisa sepenuhnya menyerap konsep minimalis di Barat, yang umumnya menggunakan material kaca dan metal. Agar sejuk dan nyaman dihuni, rumah Indonesia menuntut penggunaan material yang mudah menyerap panas.

"Rumah minimalis" di Indonesia, yang ironisnya menjadi mode di kalangan orang kaya, juga cenderung mahal—bertentangan dengan konsep awal yang bertujuan menghemat anggaran.

Pasangan Jane-Barny, misalnya, menghabiskan dana sekitar Rp 1,7 juta per meter persegi untuk rumah mereka seluas 400 meter persegi itu. Pengeluaran itu, menurut Jane, belum termasuk perabot "bergaya minimalis" yang harganya per buah bisa mencapai belasan juta rupiah. "Saya masih mencari-cari perabot yang gayanya pas dengan arsitektur rumah ini tapi juga pas dengan kantong saya," kata Jane.

Tentu saja tergantung seberapa tebal kantong seseorang. Di Galeri Decorous, Jakarta, galeri khusus penjual furniture minimalis, sebuah sofa merek Minotti dari Italia ditawarkan seharga 5.500 euro atau sekitar Rp 50 juta, kursi rancangan Mies van de Rohe, Barcelona chair, dihargai sekitar Rp 20 juta, dan harga kursi tanpa lengan dari serat fiber dengan dudukan metal mencapai Rp 3,5 juta. Tapi Caroline Amalia, konsultan desain Decorous, tidak khawatir barangnya tak terbeli. "Tetap saja banyak yang mencari, terutama dari kalangan eksekutif muda," katanya.

Untuk mengakali mahalnya perabot, banyak arsitek dan pemilik rumah memilih merancang dan membuat sendiri. Dianasari, misalnya, yang kebetulan latar belakang pendidikannya desain interior, merancang sendiri hampir semua perabot rumahnya, dari lemari hingga meja makan. "Gila kalau saya beli semua di toko," katanya, "Uangnya enggak akan cukup." Diana mengaku hanya membeli perabot semacam vas untuk sekadar menambah aksen minimalis.

Hal yang sama dilakukan Ijus Julius Sutanto, perancang interior Hotel Alila di kawasan Pecenongan, Jakarta. "Anggaran kita kan terbatas untuk membeli perabot-perabot minimalis," kata Ijus, yang tergabung dalam Denton Corker Marshall, konsultan desain bertaraf internasional. Ijus mengakalinya dengan merancang dan membuat sendiri elemen interior dari sofa hingga lampu duduk.

Menghemat anggaran adalah satu hal, tapi Hotel Alila menerapkan konsep minimalis untuk tujuan lain pula. Richard Daguise, general manager hotel itu, mengatakan ingin menyajikan sesuatu yang "surprisingly different" kepada para tamunya.

Para tamu hanya disuguhi deretan kaca yang menghadang ketika masuk ke ruang lobi hotel itu. Tak ada sofa empuk di lounge. Tak ada lukisan maestro atau lampu kristal menggantung. Dan jika para tamu kebingungan, seorang bell boy akan siap mendekat dan menjelaskan kenapa hotel ini berbeda dari yang lain. Minimalis sekadar menjadi pembeda di tengah persaingan ketat hotel-hotel.

Dan tanpa penghayatan total terhadap konsep minimalis, sebuah rumah atau gedung bahkan terasa kosong serta menjemukan. Jane, yang mengaku sangat mencintai rumahnya, berencana mengontrakkannya ke orang lain dan dia sendiri memilih tinggal di rumah mertuanya di Menteng. "Rumah saya itu terlalu besar dan luas buat saya," katanya.

Endah W.S.
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar