Jumat, 24 Agustus 2007

Serba Terbuka dengan "Workstation"

Serba Terbuka dengan "Workstation"

MESKIPUN tak seberagam desain interior rumah tinggal, desain interior ruang-ruang perkantoran pun sebenarnya juga mengenal perubahan kecenderungan atau tren dari masa ke masa. Salah satu perubahan yang paling terasa adalah kecenderungan semakin terbukanya ruang kerja-mulai sekitar pertengahan tahun 1990-an-dibandingkan dengan ruang kerja tahun 1980-an.

Tahun 1970-1980-an, desain ruang kerja yang tertutup masih banyak dijumpai pada ruang-ruang perkantoran. Artinya, seorang karyawan pada tingkat manajer misalnya lebih suka bekerja di sebuah ruang yang tertutup. Dia terpisah dari para karyawannya, sehingga bisa dikatakan tak ada yang tahu apa yang dilakukannya di ruang serba tertutup itu.

Namun mulai pertengahan tahun 1990-an, sejalan dengan sistem manajemen yang kian terbuka, filosofi ini pun mempengaruhi penataan interior ruang kantor. Mereka yang mempunyai posisi pengambil keputusan sekalipun lebih memilih ruang yang terbuka. Artinya, ruang itu bisa dipisahkan dengan partisi kaca, atau bahkan hanya dipisahkan dengan partisi setinggi sekitar dua meter saja.

Keterbukaan itu membuat "jarak" antara pimpinan dan karyawan semakin dekat. Baik pimpinan maupun karyawan bisa saling bertegur sapa dengan mudah, saling terbuka, dan saling mengawasi. Kesan angker, eksklusif, dan tertutup dari pimpinan tak bisa diterapkan dalam desain interior ruang kantor masa kini. Sebaliknya, karyawan yang malas bekerja pun akan langsung tampak oleh pimpinannya.

Dedy Rochimat, Presiden Direktur Vinotindo Grahasarana, produsen interior kantor, mengatakan, untuk pemilihan warna misalnya, kalau pada rumah tinggal sangat tergantung kepada selera pemiliknya, maka untuk ruang kantor dipengaruhi oleh warna yang dipilih perusahaan itu sebagai citra usaha dan sesuai filosofi masing-masing.

Sementara dari sisi desainnya, menurut Adeline Monike, Manajer Pemasaran Datascrip Office Furniture & Filing Systems, meski untuk bentuk kursi misalnya, berkesan tak ada perubahan, namun sebenarnya faktor mekanismenya terus berkembang.

"Lemari misalnya, kalau di rumah cukup satu lemari untuk menyimpan dokumen. Maka di kantor kebutuhan tempat penyimpanan dokumen sangat tinggi. Di sini diperlukan desain lemari sedemikian rupa yang mampu menyimpan banyak dokumen, mudah dicari dan digunakan, serta tidak makan tempat," kata Monike sambil menyebutkan contoh lemari penyimpan dokumen seperti Compact Rolling Shelving dan Rotary File.

Amir Jaya, Asisten Direktur Pemasaran High-Point, melihat perubahan itu lebih pada mekanisme kerja yang mengutamakan team work. Agar anggota team work itu bisa bekerja optimal, maka tata interiornya pun cenderung kompak dan mudah dipindah-pindahkan.

DARI sudut desain tata ruang kerja, sejak sekitar pertengahan tahun 1990-an mulai banyak perusahaan yang menggunakan interior yang disebut workstation. Erwinn Firmansyah dari Vinotindo Grahasarana mengatakan, kegiatan di kantor yang berbeda dengan rumah, membuat desain dan bahan baku interior kantor pun berbeda dengan rumah tinggal.

"Desain interior rumah tinggal itu cenderung santai, sedangkan desain interior kantor lebih simple, formal, dan cenderung berkesan langsing, tidak memakan tempat," ujar Erwinn. Desain serupa masih bisa digunakan meski pilihan desain ruang kantornya menggunakan workstation sekalipun.

Munculnya kebutuhan interior kantor berupa workstation tak lepas dari perkembangan teknologi komputer. Ketika nyaris semua kantor memerlukan komputer dan peralatan komunikasi lainnya, maka penataan interior kantor memerlukan "ruang-ruang" untuk kabel berseliweran.

Untuk mengakomodasi kebutuhan ruang bagi kabel-kabel tersebut, tanpa merusak tatanan interior ruang kantor, maka muncullah workstation. "Workstation juga mencerminkan manajemen yang terbuka dan luwes, karena bahan yang digunakan ringan dan ringkas hingga mudah dipindah-pindahkan sesuai kebutuhan," ujar Erwinn menambahkan.

Bentuk meja kerja juga mengalami perubahan, dan bisa dibuat sedemikian rupa hingga mampu mengakomodasi keperluan pemakainya. Desain meja kerja tak lagi seragam, bisa meliuk dan diberi banyak laci, bahkan dalam workstation pun tak jarang dilengkapi pula dengan lemari tempel.

Sementara itu, untuk tren warnanya, selama ini, menurut Monike, umumnya perusahaan memilih warna-warna yang dianggap bisa mewakili citra usaha mereka. "Meskipun masih banyak juga perusahaan yang memilih warna ’kerja’ seperti bernuansa biru atau abu-abu," cetusnya.

Berbagai nuansa biru dipilih karena warna ini dianggap bisa "mewakili" unsur kepercayaan, konservatif, keteraturan, kebersihan, teknologi, dan keamanan. Sementara warna bernuansa coklat dan abu-abu banyak dipilih karena mudah dipadupadankan dengan warna-warna lainnya dan dianggap netral. Sebaliknya, sebagian perusahaan enggan menggunakan warna kecoklatan, karena warna itu mengingatkan orang pada kinerja umumnya pegawai negeri.

Namun ada pula sebagian perusahaan yang justru memilih warna "berani" untuk menunjukkan identitas perusahaannya yang dinamis. Sebagian perusahaan periklanan misalnya, tak ragu memilih warna cerah, bahkan mengontraskan dua warna sekaligus, seperti merah-hitam atau oranye-biru.

Dalam pemilihan interior kantor pun ada unsur gengsi di dalamnya. Oleh karena itulah variasi harga satu kursi kerja misalnya, mulai dari ratusan ribu sampai puluhan juta rupiah. Harga workstation juga amat beragam, tergantung dari desain, warna, bahan dan ukurannya. Apa pun yang Anda pilih, sesuaikan dengan citra usaha yang ingin Anda tampilkan….
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar