Jumat, 24 Agustus 2007

Dari Gaya Klasik sampai Modern Minimalis

Dari Gaya Klasik sampai Modern Minimalis
Interior Minimalis

PASAR untuk sofa bisa dikatakan tak pernah ada habisnya. Walaupun tubuh orang Indonesia tak sebesar orang Amerika, misalnya, namun toh ada saja peminat sofa berukuran besar. Alasannya, sofa berukuran besar itu nyaman diduduki karena sebagian orang suka duduk di sofa sambil bersila atau mengangkat kaki.

Sebaliknya, untuk menyesuaikan dengan ruangan di rumah mungil sekalipun, seperti kata Hardjono, pemimpin Softy, pembuat sofa berlapis bahan tenun Pekalongan, banyak pula orang yang memesan sofa dengan ukuran khusus sesuai dengan luas ruangannya.

Erwin Firmansyah, desainer interior dari Vivere yang memproduksi mebel minimalis juga mengatakan, perusahaan tersebut membuat dua macam ukuran sofa. Artinya, untuk satu jenis desain sofa, misalnya, dibuat dua ukuran, satu ukuran besar sesuai dengan standar internasional dan satu lagi diperkecil sesuai dengan bentuk tubuh umumnya orang Indonesia.

"Meskipun ukuran sofanya diperkecil, kami membuatnya tetap proporsional dan ergonomis agar bisa memenuhi kenyamanan dan keamanan orang yang duduk di atas kursi itu," kata Erwin menambahkan.

Roland Adam, desainer interior, mengamati bahwa popularitas sofa juga membuat jenis mebel ini relatif menjadi salah satu mebel yang banyak diminati desainer interior untuk mengembangkannya. Walaupun bentuknya cenderung tetap kotak, warna, corak kain, dan kenyamanan sofa bisa dikatakan tak ada habisnya.

"Sampai sekitar tahun 1980-an kita masih bisa lihat banyak rumah yang menggunakan sofa terbuat dari rotan. Kalau di dalam rumah, sofa rotan itu diberi pengempuk berpelapis kain, tetapi untuk luar ruang ada yang memakai pelapis kulit atau kain kanvas untuk di beranda," tutur Roland.

Selain rotan, pada masa-masa itu pun banyak dipakai sofa dari kayu dengan ukiran di bagian kepala dan sandaran tangannya. Sebagian sofa masa ini pun bagian kakinya dibentuk sedemikian rupa hingga tampak lebih luwes.

"Sofa model ini bahan pelapisnya juga beragam, ada yang menggunakan kulit sampai yang memakai semacam kain beludru. Sebagian lagi merasa tak cukup hanya menghiasi sofanya dengan ukiran, maka masih ditambahkan lagi dengan sentuhan warna keemasan di sana-sini," kata Roland lebih lanjut.

Sofa seperti itu termasuk salah satu desain yang populer, dan disukai sebagian orang dari kalangan atas sampai lapisan masyarakat bawah sekalipun. Bahkan sampai sekarang pun, dengan finishing dan bahan pelapis yang lebih beragam, desain sofa seperti itu masih ada penggemarnya.

KALAU sofa dengan ukiran seperti tersebut di atas mendapat pengaruh Eropa, sekitar tahun 1975-an desain sofa lain yang juga disukai orang adalah sofa gaya Amerika. Meski ukuran besarnya tak berbeda dengan sofa gaya Eropa, desain sofa gaya Amerika lebih sederhana daripada Eropa.

Selain pada desain bentuknya yang lebih sederhana-tidak banyak menggunakan ukiran- ukiran yang rumit-corak kain pelapisnya juga berbeda. Kalau pada sofa gaya Eropa biasanya digunakan corak kain bermotif, kain pelapis sofa Amerika lebih sederhana bahkan cenderung polos dengan warna netral seperti cokelat dengan berbagai gradasinya.

"Sekitar tahun 1990-an desain sofa yang banyak disukai orang sudah berubah lagi. Umumnya pasangan muda lebih memilih sofa bergaya modern yang bentuknya cenderung ramping dan tidak banyak pernak-perniknya," kata Roland.

Untuk sofa modern, orang biasanya bermain dengan bahan dan rangkanya. Ada yang memilih menggunakan rangka kayu yang tampak alami, tetapi ada pula yang lebih menyukai rangka besi atau stainless steel. Bentuk sofa modern juga lebih beragam, tak hanya cenderung kotak, tetapi lebih luwes.

"Kain pelapis sofa juga mengenal tren. Mereka yang menyukai sofa gaya klasik biasanya suka pelapis bermotif garis, kotak, bunga, sampai polkadot. Tren kain pelapis itu banyak dipakai pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Menuju tahun 2000, orang lebih banyak memilih kain pelapis sofa tanpa motif atau polos. Permainan aksen muncul lewat tekstur kainnya," ujar Roland Adam.

Sementara Erwin melihat perkembangan sofa lebih mengarah kepada pemakaian bahan baku yang bisa membuat orang semakin nyaman duduk di sofa.

"Mungkin karena konsep kami adalah modern minimalis, jadi kain pelapisnya pun cenderung polos tanpa corak. Kalaupun ada coraknya, lebih merupakan sulur atau garis-garis yang tidak ramai. Kami bermain dengan bantal-bantal untuk memberi kesan tidak monoton pada sofa," katanya.

SEMENTARA itu, pada sofa berlapis tenun Pekalongan, Hardjono melihat perubahan desain bentuknya relatif tak berarti. Kalaupun ada perubahan, hanya pada bagian sandaran tangannya. Kalau sekitar 10 tahun lalu orang menyukai sandaran tangan berbentuk agak bulat, belakangan ini orang lebih banyak memilih sandaran tangan kotak saja, tanpa lengkungan sama sekali.

"Perubahan lainnya, kalau dulu duduk sofa itu menyambung seluruhnya, belakangan ini banyak permintaan untuk membuatnya menjadi dua bagian. Bagian bawah yang keras, lalu bagian atasnya diberi busa yang lebih empuk," ujar Hardjono.

Dari pengamatannya, pernah pada suatu masa orang menyukai sofa yang menggunakan lapisan kain tenun dipadankan, misalnya, bagian bawah menggunakan kain tanpa corak, maka bagian atasnya bercorak kotak-kotak. Namun perpaduan itu, menurut Hardjono, tak bertahan lama. Belakangan ini orang kembali menyukai sofa dengan satu corak kain satu macam saja.

Baik Hardjono maupun Erwin mengatakan perubahan lain pada sofa adalah pada sandarannya. Kalau dulu sandaran punggung dibuat "mati" atau menyatu dengan keseluruhan sofa, belakangan ini sandarannya dibuat "lepas" dari sofa hingga menyerupai bantal biasa yang berukuran besar.

Soal warna, kata Hardjono, sekitar dua tahun lalu orang masih suka memakai kain tenun berwarna cerah, seperti merah, hijau, atau biru menyala, kini selera pasar tampaknya kembali ke motif sederhana (polos dan garis) dengan warna lebih netral seperti cokelat susu, biru muda, atau krem.

"Warna terang masih disukai orang untuk memberi efek dekoratif pada ruangan, seperti kain tenun untuk korden atau bantal-bantal," kata Hardjono, yang membuat kain tenun untuk sofa lebih tebal daripada yang digunakan untuk membuat korden.

Hardjono yang kini mempekerjakan sekitar 50 orang di ruang kerja (workshop)-nya di kawasan Serpong, Tangerang, itu juga membuat slip cover atau kain penutup sofa. Kain penutup sofa ini, menurut dia, banyak diminati para ibu yang mempunyai anak balita (bawah umur lima tahun).

"Slip cover itu bisa dicuci, jadi mereka tak perlu repot-repot harus sering ganti kain pelapis sofanya. Kalau slip cover- nya sudah jelek, mereka tinggal membeli slip cover yang lain lagi. Ini lebih praktis," kata Hardjono, yang menjual slip cover untuk sofa dua dudukan seharga Rp 400.000-Rp 450.000 itu.
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar