Jumat, 24 Agustus 2007

Design Interior Dengan Pendekatan Personal

Interior dengan Pendekatan Pribadi

MUNGKIN bisa diibaratkan seperti pakaian pesta, sebenarnya orang tak ingin memakai baju yang sama persis dengan baju yang dipakai tamu lainnya. Sebagian orang pun ingin menata interior rumahnya berbeda dengan rumah orang lain. Mebelnya boleh sama, tetapi penataan yang berbeda akan menghasilkan sentuhan lain yang lebih "mewakili" kepribadian si pemilik rumah.

KEINGINAN memunculkan kepribadian si pemilik rumah itulah yang "dimanfaatkan" para desainer interior. Si pemilik rumah wajib menceritakan seperti apa mebel kesukaan mereka, dan si desainer interior bertugas menerjemahkannya ke dalam pemilihan gaya mebel dan penataan interior ruang-ruang dalam rumah klien atau konsumennya.

Kalau mereka yang berusia di atas 40-50-an tahun biasanya menyukai mebel dengan sedikit atau banyak ukir-ukiran, maka pasangan usia 20-40-an tahun umumnya lebih menyenangi mebel yang bentuknya simpel. "Saya menggunakan bahan multiplex atau plywood untuk membuat mebel yang berkesan modern dan simpel. Sedang rangkanya bisa dari kayu mahoni, nyatoh, atau sungkai," kata Hery Pramono, arsitek yang sejak tahun 1993 mendesain dan memproduksi mebel.

Walaupun sama-sama bergaya modern dan simpel, namun hasil penataan interior rumah satu dengan lainnya bisa berbeda-beda. Hal ini antara lain amat bergantung pada seberapa kemampuan desainer interior dalam menangkap dan mewujudkan keinginan si pemilik rumah.

Hery misalnya, memerlukan waktu rata-rata sekitar dua bulan atau enam kali pertemuan dengan pemilik rumah, sebelum kedua pihak menyepakati penataan interior rumah tersebut. "Awalnya saya mengobrol dulu dengan pemilik rumah, untuk mengetahui kira-kira seperti apa mebel yang cocok dengan kepribadiannya. Apa dia tipe pekerja yang tidak punya banyak waktu di rumah, atau orang yang menyukai detail," ujar Hery yang biasa mengerjakan interior rumah seluas sekitar 400 meter persegi atau lebih.

Setelah itu, dia akan membuat beberapa kemungkinan penataan interior rumah tersebut lewat gambar tiga dimensi, dan menjelaskannya sedetail mungkin kepada pemilik rumah. Penjelasan tak hanya mengenai bentuk mebel dan penempatannya, tetapi juga menyangkut material yang digunakan sampai berapa lama prosesnya.

"Saya berusaha menjelaskan sketsa penataan interiornya se detail mungkin, agar pemilik rumah benar-benar paham, sebelum mencapai kata sepakat. Ini untuk menghindari adanya ketidaksesuaian persepsi. Kalau bisa, jangan sampai klien protes setelah mebel selesai dibuat," tutur Hery yang biasanya diminta membuatkan mebel dan menata interior rumah yang baru direnovasi, atau rumah baru sama sekali.

KALAU Hery lebih sering diminta kliennya membuat interior bergaya modern simpel, maka Diana Dewi, desainer interior sekaligus produsen mebel, juga memilih gaya modern simpel karena dia menyukai gaya interior tersebut. Alasannya, garis-garis interior modern simpel itu tegas, tidak rumit, mudah dipadankan dengan aksesori rumah lainnya, dan memungkinkan lebih banyak eksplorasi pada bagian penyelesaian akhirnya.

"Bahan material yang digunakan boleh sama, tetapi hasilnya bisa berbeda. Perbedaan ini biasanya ditentukan oleh >f 9002f 9001< yang dilakukan masing-masing produsen mebel," ujarnya. Meskipun "spesialisasinya" adalah interior bergaya modern simpel, namun Diana tidak menolak keinginan konsumen pada interior bergaya ukiran sampai klasik Eropa.

Menurut dia, belakangan ini mereka yang menyukai gaya penataan interior yang "berat" bisa dihitung dengan jari, selebihnya hanya menginginkan mebel gaya tertentu sebagai aksen dari penataan interior modern simpelnya. Pada awal usahanya, Diana akan menggambar sampai sedetail mungkin penataan interior dan mebel berikut pernak pernik yang akan dibuat. Semua sketsa sampai penampang mebelnya akan diberikan kepada klien untuk dipelajari. Namun, belakangan ini dia memilih hanya menyerahkan sketsa atau gambar dalam tiga dimensi. Selebihnya dijelaskan lewat pembicaraan.

"Saya kapok, karena desain saya pernah diambil oleh klien saya, dan berdasarkan gambar itu dia memesan ke tempat lain. Padahal sebelumnya dia meyakinkan amat menyukai desain saya, bahkan sampai nanya nomor rekening segala. Eh, ternyata dia hanya mau mengambil gambar saya saja," cerita Diana yang banyak menggunakan bahan multipleks dan kayu sungkai untuk produknya.

Kalau Diana pernah merasa "tertipu" oleh kliennya, Hery pernah "diprotes" kliennya karena mebel produknya dianggap tak seperti dalam gambar. Padahal menurut Hery, semua detail mebel itu sama persis dengan gambarnya. "Dia beralasan tidak mengerti bahasa gambar. Jadi, dia minta diganti dengan mebel seperti yang dia mau, bukan berdasarkan gambar. Saya terpaksa menjelaskan kembali, kalau hal itu bisa merusak tatanan interior keseluruhannya," tuturnya.

Kalau produsen mebel biasa memajang karyanya di ruang pamer tokonya, maka desainer sekaligus produsen interior ini tidak bisa begitu saja mendokumentasikan hasil karyanya. Sebagian klien mereka memang ada yang tak keberatan interior rumahnya "ditiru" oleh orang lain, tetapi sebagian lain merasa keberatan sebab ini berhubungan dengan gengsi dan kepribadian pemiliknya.

Makanya, sebagian dari desainer sekaligus produsen interior ini biasanya hanya punya satu-dua contoh mebel yang pernah mereka buat. Semua itu tidak ditampilkan dalam sebuah tatanan interior seperti umumnya gambar-gambar dalam majalah atau tabloid interior. Setiap klien harus mereka perlakukan dengan pendekatan personal, agar kepribadian mereka bisa muncul lewat tatanan interior rumahnya.

Jadi, mebel dan segala pernak-perniknya boleh sama, namun kesan penataan interior yang ditampilkan pastilah berbeda. Sebab, banyak hal yang mempengaruhi penataan interior yang tidak bisa dibakukan. Misalnya, rasa keindahan dan selera pemilik rumah maupun desainer interiornya. Belum lagi, seberapa jauh desainer interior bisa memasukkan dan mengkompromikan "ilmunya" dengan kepribadian sang klien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar