Kamis, 30 Agustus 2007

Bisnis Properti Bukan Sekadar Membangun Gedung Arsitektur

Bisnis Properti Bukan Sekadar Membangun Gedung Arsitektur

Pusat-pusat kota yang berkembang menjadi pusat perdagangan dan jasa menjadi sasaran para pengembang yang hendak membangun pusat perbelanjaan, perkantoran, apartemen, dan hotel. Namun perlu diingat, bisnis properti bukan sekadar membangun gedung berarsitektur dan berinterior indah untuk menarik konsumen.

Maraknya pembangunan properti dapat dilihat dari pembangunan pusat perbelanjaan mewah bagi kalangan atas di Jakarta yang sebelumnya terpusat di kawasan segitiga emas, yaitu Plaza Indonesia (PI) dan Plaza Senayan (PS). Sekarang, kawasan perbelanjaan mewah di Senayan telah melebar ke seberang PS dengan kehadiran Senayan City (Senci) yang berdiri megah pada 2006.

Begitu juga dengan sisi selatan PI. Pusat perbelanjaan mewah hadir dengan tajuk Grand Indonesia (Grando), luas dan jumlah lantainya jauh lebih besar dari PI beserta EX-nya.

Kawasan perumahan masyarakat menengah dan atas tidak mau ketinggalan mengikuti perkembangan. Perumahan- perumahan seperti itu melengkapi diri dengan pusat perbelanjaan, misal Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan Kelapa Gading Mal 1-3 (KGM) serta Mal Artha Gading. Tak mau kalah, perumahan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, yang sukses mengembangkan konsep mal pertama di Indonesia telah membangun Pondok Indah Mal 2.

Setelah itu, akan menyusul Pacific Place di Sudirman Central Business District (SCBD) pada 2008 dan Kemang Village oleh Lippo Group. Lippo yang sebelumnya banyak membangun plaza kombinasi dengan trade center akan memosisikan Kemang Village sebagai pusat perbelanjaan mewah yang dilengkapi dengan apartemen, rumah sakit, dan sekolah dalam satu kompleks. Selain itu, ada juga rencana pembangunan superblok Gandaria City dan superblok Casablanca City oleh Pakuwon Group pada tahun 2010.

Sejuta meter persegi

Jika pusat perbelanjaan mewah yang terkonsentrasi di kawasan segitiga emas dan permukiman mewah telah selesai dibangun, Jakarta sebagai kota metropolitan pada 2010 akan mempunyai mal dan plaza yang menyediakan tempat usaha seluas 1 juta meter persegi.

Jumlah itu belum termasuk pusat perbelanjaan untuk masyarakat menengah-atas yang sudah berdiri sebelum tahun 2000, seperti Mal Ciputra, Blok M Plaza, Mal Taman Anggrek, Mal Puri Indah, dan Mega Mal Pluit. Arena bisnis perdagangan itu semakin luas jika menghitung pusat perbelanjaan bagi kalangan menengah seperti Mal Artha Gading, Summarecon Mal Serpong (SMS), dan yang sedang dalam proses pembangunan, seperti CBD Pluit, Emporium Pluit, dan Mall of Indonesia. Di seluruh Jabotabek, total tempat usaha yang ada luasnya akan lebih dari 3 juta meter persegi.

Sejak krisis ekonomi berakhir awal 2000, pembangunan yang banyak diminati oleh pengembang dan pembeli properti adalah kios strata title di trade center yang sebelumnya hanya dikenal di kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat, dengan ITC dan Pasar Pagi serta Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta Pusat. Kawasan tersebut luas totalnya tidak sampai 250.000 meter persegi dan jumlah pedagang tidak lebih dari 25.000 orang.

Namun, sejak 2000, telah tumbuh trade center di luar Mangga Dua dan Tanah Abang, antara lain Kelapa Gading Trade Center, Pusat Grosir Cililitan, Bekasi Trade Center, Jakarta City Center, Mangga Dua Square, dan ITC Depok. Luasnya mencapai lebih dari 1 juta meter persegi dengan jumlah kios lebih dari 50.000 unit.

Apartemen berkembang

Pembangunan permukiman yang lebih terpusat di luar Jakarta serta pembangunan pusat perdagangan dan jasa di kawasan segitiga emas dan permukiman mewah di dalam wilayah kota mendorong pertumbuhan apartemen. Waktu tempuh ke tempat kerja yang relatif lama dan melelahkan memaksa pekerja mencari alternatif perumahan yang lebih dekat dengan tempat kerja.

Kondisi ini membuat pembangunan apartemen yang sebelumnya tidak terjangkau oleh masyarakat menengah banyak diburu. Para pembeli yang belum memiliki rumah akhirnya memilih tinggal di apartemen. Investor juga banyak membeli apartemen untuk disewakan kepada pendatang ataupun dijual kembali untuk mendapatkan capital gain yang jauh lebih tinggi dari deposito.

Jumlah gedung dan unit apartemen yang dibangun sejak 2000 jauh lebih banyak dari sebelumnya. Meskipun meningkat, semua pasokan disambut hangat oleh masyarakat.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia, jumlah kredit yang disalurkan naik sebesar 16 persen, sedangkan kenaikan kredit properti mencapai 24 persen dengan posisi per april 2007 sebesar Rp 124,2 triliun. Komposisinya terdiri atas kredit konstruksi Rp 28,6 triliun, real estat Rp 16,5 triliun, KPR dan KPA Rp 79,19 triliun. Posisi kredit properti pada periode yang sama 2006 sebesar Rp 100,41 triliun (Kompas, Rabu, 1/8).

Data memang tidak menyebutkan komposisi antara KPR dan KPA, tetapi dapat disimpulkan adanya kenaikan kredit properti sebesar Rp 23,79 triliun selama satu tahun. Jika dianggap sama besar, kredit untuk KPR dan KPA mencapai 63,76 persen atau sebesar Rp 15,168 triliun.

Apabila diasumsikan setiap pembeli rumah, ruko, atau apartemen mendapat dana kredit Rp 500 juta per unit, berarti telah terjual kurang lebih 30.000 unit pada periode tersebut. Jika kredit pembelian Rp 250 juta per unit, yang telah terjual 60.000 unit.

Dengan total total kredit KPR dan KPA yang Rp 79,19 triliun, berarti telah disalurkan untuk kurang lebih 160.000 unit dengan kredit Rp 500 juta per unit atau kurang lebih 320.000 unit dengan kredit Rp 250 juta.

Jumlah properti yang dibangun dan jumlah kredit yang cair menunjukkan, besarnya aliran kredit dapat diimbangi dengan keberhasilan menjual properti. Oleh karena itu, kekhawatiran akan terjadi kredit macet di pihak pengembang real estat tidak perlu dicemaskan. Pasalnya, pembangunan perumahan vertikal dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan penjualannya.

Sedangkan bagi pihak pengembang apartemen dan trade center lebih banyak menjual saat pembangunan gedung berlangsung dengan memanfaatkan dana pembeli melalui pembayaran secara cash bertahap dan kredit jangka panjang melalui kredit KPR/KPA.

Memberikan keuntungan

Namun yang perlu diperhatikan oleh pengembang, tugas mereka "bukan" hanya sekadar menyelesaikan pembangunan sampai diserahterimakan kepada para pembeli atau penyewa, melainkan bagaimana agar gedung yang dibangun dalam waktu tahunan serta biaya ratusan miliar menguntungkan pembeli dengan naiknya harga di pasar sekunder atau ramainya pusat perbelanjaan oleh pengunjung.

Pembangunan gedung di bisnis properti bukan sekadar membangun gedung "monumen" yang hanya dinikmati secara fisik saja, tetapi juga bermanfaat bagi pemakainya. Dampak positif juga harus dirasakan masyarakat sekitar, seperti warga dapat berbelanja dengan lebih nyaman dan aman atau pengelola apartemen membuka kesempatan kerja bagi warga sekitar dan menyediakan ruang hijau yang lebih indah bagi lingkungan.

Jangan sampai pembangunan di bisnis properti justru memberi dampak lingkungan yang negatif bagi warga sekitar, seperti jalan macet, berkumpulnya kaki lima dan ojek, serta bertumpuknya sampah dan air kotor. Pembangunan di sektor itu juga tidak boleh hanya membentuk gedung mewah yang sepi penyewa atau pengunjung sehingga menjadi monumen yang menciptakan rasa angker.

Marilah membangun dengan peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

Suwito Santoso Prolease Konsultan. Kompas
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar