Kamis, 23 Agustus 2007

Berpikir Ringan dalam Membangun Rumah

Berpikir Ringan dalam Membangun Rumah

SEHUBUNGAN dengan kejadian-kejadian gempa belakangan ini, tentu sedikit banyak akan membuat kita bertanya kepada diri sendiri: seberapa jauhkah rumah yang kita tinggali bisa melukai kita dan keluarga seandainya terjadi gempa?

JAWABANNYA tergantung pada dua hal. Pertama adalah seberapa besar kekuatan dan lamanya gempa yang melanda lingkungan di mana rumah kita berada. Kedua, seberapa baik respons struktur rumah kita dalam menghadapi gempa.

Meramalkan kapan datangnya gempa dan seberapa besarnya gempa tentu di luar kemampuan kita, demikian pula merancang suatu bangunan sedemikian rupa sehingga mampu menghadapi gempa. Namun, tentu kita mengharapkan dalam keadaan terburuk setidak-tidaknya bangunan masih berdiri sedemikian rupa sehingga Anda dan keluarga masih punya cukup waktu untuk melarikan diri keluar dari rumah sebelum rumah runtuh.

Untuk itu, apa yang bisa kita lakukan adalah mulai memikirkan sesuatu yang bisa mengurangi bahaya yang dibawa dan dibangkitkan oleh gempa. Salah satunya adalah dengan mulai berpikir ringan dalam membangun atau merenovasi rumah. Berpikir ringan artinya kita mulai mencari-cari bagaimana caranya supaya bangunan kita secara sebagian-sebagian atau secara keseluruhan menjadi lebih ringan, tetapi tanpa mengurangi kekuatan dan kekokohan konstruksinya. Persis seperti perancang pesawat udara yang berusaha sedemikian rupa supaya seluruh bobot pesawatnya dibuat seringan mungkin.

Hanya, kalau pesawat udara yang ringan dimaksudkan agar performanya bisa bertambah dengan berkurangnya bobot, bangunan yang ringan akan lebih tahan gempa karena secara langsung gaya inersia yang diakibatkan goyangan gempa juga tidak besar sehingga konstruksi rumah bisa lebih bertahan. Di lain pihak juga runtuhan bagian-bagian bangunan yang lebih ringan tentu lebih kurang bahayanya bagi orang-orang yang tertimpa di bawahnya.

Lalu, apa saja yang bisa membuat satu bangunan lebih ringan tanpa mengurangi kekuatan dan kekokohan yang dibutuhkan?

Sebelumnya perlu ditekankan di sini bahwa berpikir ringan tentu juga punya konsekuensi-konsekuensi, antara lain adalah bangunan rumah tinggal Anda bisa menjadi lebih mahal, walaupun bisa juga menjadi lebih murah. Atau dengan bahan-bahan pengganti lebih ringan, mungkin saja kita akan mendapatkan sifat-sifat bahan bangunan yang lebih kurang sifat perlindungan keamanannya. Juga mungkin saja umur bangunan Anda menjadi lebih pendek atau pemeliharaannya menjadi lebih mahal.

Sebagai contoh pertama adalah atap. Kalau kita menginginkan penutup atap ringan, tentu kita harus menggantikan bahan penutup atap jenis tanah liat yang dibakar (genteng) dengan bahan-bahan substitusi yang lebih ringan seperti yang berbahan dasar lembaran bitumen atau lembaran logam tipis. Tentu bahan-bahan substitusi ini mungkin lebih mahal atau lebih kurang nilai estetikanya atau lebih menyalurkan panas matahari ke dalam bangunan atau lebih pendek umur kerjanya.

Demikian juga konstruksi atapnya. Kalau kita menggantinya dari konstruksi kayu menjadi konstruksi ringan baja, tentu akan menambah biayanya karena, secara umum, saat ini konstruksi baja masih lebih mahal daripada konstruksi kayu. Walaupun kecenderungan perbedaan harganya mulai menipis akibat meningkatnya harga kayu di satu pihak dan semakin meluasnya penggunaan konstruksi baja di lain pihak yang mengakibatkan penurunan harganya.

Juga penggunaan lantai parket di lantai atas, misalnya, menggantikan lantai keramik yang lebih berat tentu akan menambah biaya juga. Atau bahkan Anda membuat seluruh lantai atas rumah Anda dari konstruksi kayu atau baja yang lebih fleksibel menghadapi gaya lateral (horizontal) akibat gempa daripada konstruksi beton, yang tentunya akan menambah biaya, baik pembuatannya maupun pemeliharaannya.

Contoh lain adalah penggunaan dinding partisi ringan yang terbuat dari bahan gypsum atau lempengan-lempengan (board) buatan dari bahan-bahan non-organik dengan rangka aluminium, menggantikan dinding bata atau batako. Tentu akan menimbulkan pertanyaan tentang keamanan dari dinding tersebut yang mudah dijebol, di samping ketahanan terhadap kelembaban dan keawetannya dan juga tingkat perlindungan bagi keprivasian.

Pendek kata, kalau kita ingin "berpikir ringan", kita harus siap juga untuk berkompromi dalam berbagai hal seperti contoh di atas. Jadinya Anda harus "berhitung" secara menyeluruh tentang keuntungan dan kerugian dalam "membangun ringan", termasuk pengolahan estetika dan tingkat risiko gempa dan karakteristik lingkungan di mana rumah Anda berdiri. Namun, ini tentu sudah menjadi tugas arsitek dan perancang teknis yang Anda sewa untuk melakukannya dengan benar. Bagian Anda adalah mengubah cara berpikir tradisional yang umumnya "berpikir berat" dalam membangun rumah tinggal menjadi "berpikir ringan" untuk mencapai tujuan penjagaan keselamatan Anda. Ini yang tentunya mengharuskan Anda siap menerima segala konsekuensinya.

Ada satu hal lagi yang harus dipertimbangkan. Secara keseluruhan mungkin harga konstruksi bangunan Anda bisa lebih murah karena dua sebab.

1. Pelaksanaan pembangunan lebih cepat. Karena, bahan-bahan atau bagian-bagian bangunan yang ringan umumnya bersifat siap pasang sehingga bisa menghemat biaya tukang.

2. Bobot konstruksi yang lebih ringan. Ini tentu secara berantai akan mengakibatkan, antara lain, berkurangnya beban fondasi sehingga bisa dibuat lebih murah.

Wilayah gempa

Menurut peta yang dilampirkan di majalah National Geographic edisi April 1995, seluruh permukaan bumi, laut, dan daratan dibagi menjadi 16 lempengan tektonik utama. Indonesia bagian barat dari Pulau Sumatera sampai Pulau Sulawesi berada di lempengan Eurasia. Selebihnya, Kepulauan Maluku dan Papua ikut lempengan Australia.

Hal yang menjadi masalah adalah negeri kita berada di pinggiran kedua lempengan tersebut. Bagian barat Pulau Sumatera, bagian selatan Pulau Jawa, bagian barat Kepulauan Maluku, dan bagian utara Pulau Papua bahkan benar-benar merupakan tepian kedua lempengan besar tersebut yang langsung bersentuhan dengan lempengan-lempengan besar lainnya, seperti lempengan Filipina dan lempengan Pasifik. Bisa dibayangkan penyebaran potensi gempa di negeri kita ini. Namun, kita juga tidak perlu terlalu bersikap berlebihan karena itu adalah gambaran yang sangat umum. Untuk gambaran yang lebih cermat, telah dibuat peta gempa wilayah Indonesia seperti yang terlampir. Pada peta resmi tersebut, wilayah gempa di Indonesia juga dibagi-bagi atas beberapa tingkat risiko gempa. Dari peta tersebut, kita bisa merancang konstruksi tahan gempa dengan lebih proporsional.

Saptono Istiawan Arsitek

Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar