Kamis, 30 Agustus 2007

Gaya Eksekutif Muda

Evelina Setiawan (35) kesal. Baru pulang dari kantor, dia sudah mendapat pengaduan dari mertuanya kalau jemuran kotor lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya, pakaian yang sedang dijemur di teras kotor lagi, gara-gara tetangga yang tinggal di atas membuang air sembarangan.

”Rupanya pembantu di atas punya kebiasaan menyiram teras rumah agar debu tidak beterbangan. Kalau tinggal di rumah yang menempel di tanah, ya tidak masalah. Tetapi ini di apartemen. Kalau dia ciprat-ciprat air di teras, kami yang di bawah juga kebasahan,” sungut Evelina yang tinggal di Apartemen Kedoya Elok, Jakarta Barat.

Ha-ha-ha, inilah cerita masyarakat kita tinggal di apartemen. Ada tetangga menggoreng terasi atau ikan asin. ”Usus melintir, kepala pusing. Apalagi kalau ada yang meramu obat china. Baunya makin tidak karuan,” cerita Evelina tentang pengalamannya tinggal di apartemen.

Lain lagi dengan Anastasia Bintang (35), seorang eksekutif muda di bidang periklanan. Walau pernah diganggu tikus yang masuk lewat saluran air, Bintang sangat menikmati tinggal di Apartemen Taman Rasuna, Kuningan, Jakarta Selatan. Saking senangnya, kalau sudah bosan dengan unit apartemennya yang lama, dia pindah ke menara lain karena Apartemen Taman Rasuna memiliki 15 menara.

Selama empat tahun belakangan, Bintang sudah tiga kali pindah menara. Padahal, pindah menara cukup sulit walau letaknya masih satu kompleks. Bintang harus berjuang sendiri mengangkut barang-barangnya karena tidak ada yang membantu.

Bintang juga harus menyewa mobil untuk memindahkan barang ke pintu masuk menara yang lain. ”Sewa mobilnya saja Rp 200.000, padahal cuma menyusuri basement doang,” tutur Bintang.

Setelah sampai di tower yang dituju, perjuangan belum selesai. Bintang harus mengangkat sendiri barang-barangnya naik ke atas lantai apartemennya. Karena berat, Bintang menggunakan troli untuk membawa barangnya masuk ke lift. Menurut Bintang, troli bekas hypermarket yang sudah tutup itu bahkan sampai disewa-sewakan.

Sangat berbeda

* Tinggal di apartemen memang sangat berbeda dengan tinggal di rumah konvensional, rumah yang menempel di tanah.

Banyak aturan atau kebiasaan yang bisa dilakukan di rumah tidak bisa dipraktikkan di apartemen. Begitu juga sebaliknya.

Biar begitu, buat warga kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, tinggal di apartemen mulai menjadi hal yang lumrah.

Apartemen menjadi pilihan bagi warga Ibu Kota karena bisa menjawab masalah jarak dan kemacetan lalu lintas. Warga Ibu Kota tidak perlu lagi menghabiskan waktu berjam-jam di jalan raya untuk pulang ke rumah.

”Bandingkan saja waktu yang harus dia tempuh jika dia bekerja di Sudirman, sementara rumahnya di Bekasi atau di Tangerang. Jika dia tinggal di apartemen, tidak sampai satu jam dia sudah kumpul keluarga. Kelebihan ini juga yang membuat second market dari apartemen tetap tinggi,” kata David, seorang agen properti dari Era.

Selain itu, apartemen juga memberikan privasi bagi penghuninya karena kemungkinan untuk digosipkan tetangga sangat kecil. ”Kapan mau ngegosip. Ketemu saja enggak pernah. Paling-paling saya ketemu dengan tetangga di lift atau saat menunggu mobil di lobi. Itu pun saya tidak tahu, dia itu penyewa atau pemilik apartemen,” kata Evelina.

Soal fasilitas kolam renang atau pusat kebugaran, Evelina mengaku tidak pernah memanfaatkannya. ”Begitulah konsumen kita. Mereka hanya mau membeli apartemen yang fasilitasnya lengkap. Tetapi setelah ada, mereka tidak memanfaatkannya karena terlalu sibuk. Paling-paling yang memanfaatkan tidak sampai 10 persen jumlah penghuni, itu pun sebagian besar anak-anak dan pembantu,” ucap dia.

Walau harga apartemen sangat tidak murah, kelebihan apartemen pada lokasi dan fasilitas membuat pembeli seolah tidak peduli pada harga. Tengok saja harga apartemen Airlangga yang mematok harga 1.818 dollar AS per meter persegi ketika pertama kali dirilis (Kompas, 16/10/2003). Apartemen Dharmawangsa membuka harga 2.700 dollar AS per meter persegi. Bahkan, Apartemen Da Vinci yang terletak di Jalan Sudirman melepas apartemennya dengan harga minimal Rp 22 miliar, sudah lengkap dengan furnitur. Semua apartemen itu laku keras.

Hebatnya, biar harga apartemen selangit, banyak konsumen yang membeli tidak cukup hanya satu unit. Evelina yang juga menjabat Marketing General Manager Kelapa Gading Square mengatakan, ada klien yang memborong semua unit yang ada di satu lantai. Dengan membeli semua unit yang ada di lantai itu, mereka mendapatkan kelegaan dan privasi sendiri.

”Di sini jelas terlihat bahwa masyarakat kita tidak terbiasa tinggal di tempat yang sempit. Mereka ingin tinggal di tengah kota, tetapi juga ingin mendapatkan ruang yang luas. Ini sebenarnya bertentangan dengan konsep apartemen,” jelas Evelina yang juga seorang arsitek.

Konsep apartemen

* Apartemen sebenarnya unit tempat tinggal yang cocok untuk para eksekutif muda, yang bekerja dari pagi hingga malam hari, sehingga tidak menghabiskan banyak waktu di rumah.

Dengan tinggal di apartemen yang terbatas, para eksekutif muda ini juga tidak perlu membuang banyak tenaga untuk membereskannya.

”Ada yang salah dengan konsep apartemen di sini. Budaya masyarakat kita yang tidak bisa hidup tanpa pembantu juga dibawa ke apartemen. Lihat saja, hampir semua apartemen di sini menyediakan kamar pembantu dan kamar mandi khusus pembantu. Padahal, harga apartemen itu dihitung per meter persegi. Ada juga apartemen yang menyediakan dapur basah dan dapur kering. Jadi sebenarnya apartemen di Indonesia adalah rumah biasa yang ditumpuk ke atas,” kata Evelina.

Chaterin Suliawan (34), seorang eksekutif yang juga tinggal di Apartemen Taman Rasuna, mengaku tidak betah ketika pertama kali menempati unit apartemennya. ”Habis luasnya cuma 80 meter persegi. Mau meletakkan barang susah sekali. Tetapi lama-kelamaan saya terbiasa dengan unit mungil ini. Apalagi saya sudah menikmati kelebihan tinggal di apartemen,” kata Chaterin.

Evelina yang telah tinggal di apartemen sejak dia masih kuliah mengatakan tinggal di apartemen sangat memudahkan aktivitasnya sebagai wanita karier sekaligus ibu rumah tangga. ”Paling tidak saya tidak pernah kehujanan turun dari mobil. Di rumah biasa, kalau mau masuk harus buka pagar dulu. Iya kalau tidak hujan, kalau hujan, kan kuyup,” ucap dia.

Walau begitu, beberapa orang menganggap tinggal di apartemen tidak cocok bagi keluarga yang mempunyai anak kecil. Omar Halim (68) memilih tinggal di rumah biasa saat anak-anaknya masih kecil. ”Jika di apartemen, kesempatan anak-anak berinteraksi sosial tidak banyak,” kata penghuni Apartemen Istana Harmoni, Jakarta Pusat, ini.

Begitu juga yang dirasakan Caca Cahyani (31). Setelah ia memiliki seorang anak, apartemen yang luasnya 80 meter persegi ini dirasakan sangat sempit. ”Aku ingin mempunyai rumah yang memiliki halaman sendiri. Kalau di apartemen tidak bisa punya halaman. Kalau ke teras, anginnya kencang sekali. Nanti masuk angin lagi,” kata Caca yang tinggal di lantai 30 Apartemen Taman Rasuna. (Lusiana Indriasari/ Susi Ivvaty)Apartemen, Kenyamanan di Tengah Kesempitan

Jakarta, Kompas


Kirim Teman | Print Artikel
Kompas
Bosan di ruang tertutup, penghuni apartemen asyik dengan laptopnya di areal kebun apartemen

Oleh: Clara Wresti

Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar