Sabtu, 05 Januari 2008

Rumah Kayu Ramah Lingkungan

Rumah Kayu Ramah Lingkungan

Nusya Kuswantin

Rumah tradisional di daerah Kalimantan Selatan berbentuk rumah panggung, yaitu bangunan berkaki yang lantainya tidak menyentuh tanah. Bangunan rumah, yang pada umumnya terbuat dari kayu itu, disangga beberapa tiang sehingga induk bangunan terangkat dari tanah. Jarak lantai bangunan dari tanah bisa satu sampai dua meter. Alasan bijaknya adalah agar pada saat air pasang, rumah tidak akan kemasukan air. Maklum, daerah rawa pasang-surut.

Sementara rumah-rumah tradisional di daerah lain juga banyak yang berbentuk rumah panggung, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda. Misalnya, bukan agar terhindar dari air, tetapi lebih untuk menghindari binatang mengerat seperti tikus. Maklum, rumah tinggal sering kali juga dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan hasil panen. Namanya juga masyarakat tradisional yang pada umumnya agraris.

Dalam sejarahnya, sebagian ibu kota Jakarta juga dibangun di atas daerah rawa. Rawa ditutup dengan berbagai material, seperti batu dan puing-puing bangunan, dan kemudian dimanfaatkan sebagai lahan hunian. Namun, rumah tradisional Betawi bukanlah berbentuk rumah panggung karena masyarakat Betawi pada zaman dahulu agaknya tak harus tinggal dekat daerah rawa.

Ada keuntungan ekologis dari rumah panggung, yaitu tanah di bagian bawah bangunan akan berfungsi sebagai tempat resapan air. Pada saat air pasang atau banjir, air akan menggenang di sana sampai kemudian surut dan terserap ke dalam tanah. Dan sementara itu tempat tinggal keluarga tetap aman-aman saja. Anggota keluarga bisa tetap terus bercengkerama di dalam rumah tanpa khawatir.

Memelihara bebek

Di Kalimantan Selatan saat ini pun masih dapat kita lihat rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu. Ruang kosong di bagian bawah rumah ada yang sengaja digunakan untuk beternak ikan atau untuk memelihara bebek. Memang kelihatan agak jorok karena ketika habis hujan tanah jadi becek tergenang air. Namun, jelas rumah seperti itu ramah lingkungan dan terbebas dari banjir.

Sayangnya, sebagaimana dituturkan Noorhalis Majid, aktivis prodemokrasi setempat, saat ini di Kalimantan Selatan pun orang juga lebih suka membangun rumah tembok dengan lantai semen atau tegel yang menempel pada tanah. Dan, masih menurut Ketua KPU Kota Banjarmasin itu, sudah ada wilayah hunian berlantai semen di daerah tersebut yang terkena banjir ketika hujan turun dengan lebat. Kondisi seperti ini adalah suatu hal yang tak pernah terjadi ketika masyarakat tinggal di rumah-rumah panggung.

Dengan kearifan nilai seperti itu, kita bisa membayangkan Jakarta yang terbebas dari banjir apabila di wilayah-wilayah yang diperuntukkan sebagai resapan air memang difungsikan sesuai tujuannya, dan kalaupun harus dimanfaatkan sebagai wilayah hunian, idealnya dibangun rumah-rumah panggung. Pilihan lain adalah memberlakukan perda yang mewajibkan setiap rumah memiliki resapan air yang memadai. (Namun, sayangnya, langkah radikal seperti ini bisa menjadi semacam revolusi yang akan memangsa korban penduduk miskin.)

Rumah panggung tembok

Kalimantan memiliki aset bangunan yang mendukung produksi material bangunan untuk rumah panggung, yaitu kayu besi dan kayu galam. Kedua jenis kayu itu memiliki sifat yang makin kuat dan makin tahan lama apabila terkena air.]

Kayu galam yang ukurannya memang lebih kecil—dan biasanya dimanfaatkan dalam bentuk balok—pada umumnya dipakai sebagai bantalan atau fondasi bagi tiang penyangga. Ini memang perlu mengingat tanah di Kalimantan Selatan bersifat rawa. Di atas tumpukan fondasi galam itulah kayu besi ditancapkan sebagai tiang-tiang penyangga rumah.

Membangun rumah kayu dalam jumlah besar pada zaman ini justru bisa mengarah pada deforestasi, dan memang bukan menjadi pilihan berdasarkan kalkulasi ekonomis kebanyakan masyarakat, karena biaya membuat rumah kayu jatuhnya lebih mahal daripada rumah tembok, setidaknya di kota-kota yang akses bahan bangunannya mudah. (Kecuali apabila punya waktu untuk bergerilya mencari rumah kayu bekas di daerah Wonogiri, Jawa Tengah, yang konon bisa dibeli dengan harga sekitar Rp 25 juta. Orang Wonogiri saat ini juga meninggalkan rumah-rumah kayu mereka dan mulai membangun rumah tembok. Mungkin dengan alasan menggapai modernitas.)

Kendati mungkin kurang romantis, rumah panggung bisa tetap dibangun kendati tak harus dari kayu. Rumah panggung bisa dibangun dari tembok dengan menggunakan tiang penyangga beton dan batu kali.

Para arsitek dan insinyur teknik sipil kita sudah barang tentu bisa memberikan kontribusi berupa desain dan struktur bangunan, tidak hanya bagi kelas menengah atas, tetapi terutama bagi masyarakat kelas menengah bawah di kota-kota padat penduduk yang senantiasa menjadi ancaman banjir.

Tentu untuk memenuhi rasa estetika tak perlu memelihara belut di ruang resapan air di bawah bangunan induk.

Nusya Kuswantin Pemerhati Masalah Rumah

Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar