Senin, 31 Desember 2007

Rumah Tinggal | Tradisi Membangun Rumah Tinggal

Rumah Tinggal | Tradisi Membangun Rumah Tinggal

Menggali Tradisi untuk Membangun Rumah Tinggal

APA yang hendak kita lakukan apabila kita, dengan berbagai alasan, ingin merancang sendiri rumah yang akan kita huni bersama keluarga? Ada banyak jalan. Di antaranya, pertama, mempelajari rumah-rumah tradisional yang bertebaran di seluruh Indonesia.

AALASANNYA, rumah-rumah tersebut selalu mendasarkan diri pada pola-pola yang hampir melembaga, yang didasarkan pada konsep-konsep yang teruji. Ujiannya pun melalui usaha trial and error selama berabad-abad. Rancangan rumahrumah tradisional menghasilkan ruang hidup yang nyaman dan menyatu dengan alam.

Kedua, melihat pola pembagian ruang dalam rumah Jawa. Lihatlah pola pembagian halaman rumah-rumah di Bali. Perhatikan bagaimana penduduk di berbagai daerah, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Lihat juga Jawa Barat dan Jawa Timur, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, serta segenap pelosok Kepulauan Maluku sampai rumah-rumah pantai di Papua. Kini kita bisa melihat warga di pulau-pulau tersebut sebagai suatu kesatuan. Cara membangun rumah tinggal mereka tidak perlu lagi dilihat secara sendiri-sendiri. Kita bisa mencontoh dan mengambil pelajaran dari bagian-bagian yang kita perlukan saja atau yang kita anggap sesuai kebutuhan dan selera kita.

Hal yang harus dilakukan ialah membuat mereka menjadi suatu kesatuan fungsi dan artistik yang selaras dan melayani kepentingan dan kebutuhan hunian kita dengan baik. Kita juga bisa mempelajari bagaimana penduduk masing-masing daerah memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di tempat mereka tinggal, terutama kayu dan batu volkanik. Pelajari bagaimana pola hidup mereka. Meski pola hidup mereka sehari-hari berbeda dengan pola hidup orang kota, ada garis merah yang bisa ditarik dalam kesamaan pola hidup di dalam rumah yang dihuni.

Sebuah rumah tinggal di Jakarta Selatan mungkin bisa menjadi contoh yang baik dari suatu aspirasi pembangunan rumah tinggal yang dirancang sendiri oleh pemilik dan calon penghuninya.

SAJAN Koch (matematikawan) termasuk di antara orang yang merancang sendiri rumahnya dengan tradisi masa lalu, tatkala membutuhkan rumah bagi keluarganya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Hasil dari banyak perjalanan keliling ke seluruh pelosok Indonesia menyadarkannya bahwa kemungkinan membuat suatu rumah, yang sebelumnya hanya berbinar-binar di dalam mimpi, bisa diwujudkan. Perjalanan ke Muntilan menghadapkan ia pada kerajinan batu volkanik yang luar biasa halus. Perjalanan ke Jepara mempertemukan ia dengan tangan-tangan terampil dalam mengolah segala sesuatu yang dibuat dari kayu.

Perjalanan ke Lombok meninggalkan kenangan dengan para perajin gerabah yang unik. Di samping itu, kunjungannya ke candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur menguatkan keyakinan bahwa keterampilan membangun pernah ada di dua provinsi itu, dan tetap ada, melalui jalur keturunan yang bisa digali lagi. Semua bahan dan keterampilan tersebut dimanfaatkan untuk memperindah rancangan rumah tinggalnya. Pemahat batu ia manfaatkan keterampilannya untuk membuat umpak (Gambar 1) tiang-tiang dari kayu jati yang bagian kepalanya diukir dengan indah oleh perajin ukiran dari Jepara (Gambar 2).

Sementara sebagian lantai rumahnya dengan pola unik dibuat perajin gerabah dari daerah Lombok (Gambar 3). Ini menjadi sentuhan penting dalam membuat house menjadi home. Namun, ini dilakukan dengan saksama dan mengikuti pola-pola dasar dekorasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Pola-pola dekorasi ini merupakan hasil pengalaman visual dari perjalannya ke pelosok-pelosok Nusantara dan studi perpustakaan yang tersedia. Mungkin peran sang istri, Claire L Koch, sangat dominan karena dekorasi lebih banyak membutuhkan sentuhan feminin.

Dari banyak menempuh perjalanan itu, ia menyimpulkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia membuat rumahnya dalam aturan yang dibakukan. Pola pembagian ruang telah terbentuk menyesuaikan dan memanfaatkan iklim di negeri kita, bahkan pola pembagian halaman pun telah melembaga, seperti di Bali.

Sistem konstruksi juga demikian. Umumnya setiap daerah telah memiliki tata bangun yang baku. Salah satu hal yang menjadi perhatian Sajan Koch dalam hal konstruksi bangunan adalah rumah panggung.

Ternyata rumah panggung mempunyai beberapa keuntungan, di antaranya, pertama memberi pemandangan yang baik. Kedua, membuat suhu rumah menjadi lebih nyaman karena aliran angin lebih sedikit hambatannya dari luar rumah. Ketiga, memberi perasaan psikologis lebih aman dan lebih unggul dari posisi wilayah publik di luar rumah yang lebih rendah lantainya. Keempat, jauh dari bising dan debu jalan

Oleh karena itu, pada tahap awal ia telah menetapkan bahwa rumahnya kelak akan mengikuti pola konstruksi rumah panggung. Namun, tentu saja pola rumah panggung itu harus diadaptasikan dan dikembangkan ke pola kehidupannya di kota.

Selain itu, masih ada dua tahap pemikiran lagi dalam meletakan dasar-dasar konsep rumah tinggalnya.

Pertama, menetapkan ruang-ruang utama seperti ruang tidur, ruang keluarga, serta ruang makan dan juga ruang penerima (entrance) ditempatkan di bagian atas dari pola rumah panggung. Artinya, ruang-ruang lainnya, seperti ruang service, garasi, dan ruang-ruang auxiliary ditempatkan di bagian bawah yakni di kaki rumah panggung. Ini dengan pertimbangan bahwa ruang-ruang utama, di mana kita akan lebih banyak menghabiskan waktu, akan mendapatkan view dan sirkulasi udara yang baik.

Kedua, menetapkan garis besar lay out atau tata letak ruang-ruang yang membentuk rumah tinggalnya kelak.

Pola ruang tentu saja mengikuti pembagian hirarki ruang yang dimulai dari daerah umum yaitu jalan, kemudian ke daerah semi publik, yaitu pekarangan rumah kita. Kemudian masuk ke daerah semi-private yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk tangga entrance yang cukup besar, cukup untuk dua orang berpapasan.

Tangga jalan masuk yang terbuat dari marmer Citatah mengantarkan kita ke pintu utama yang terdiri atas suatu ruang penerima yang dilengkapi daun pintu yang dekoratif (Gambar 4). Selepas jalan masuk kita dihadapkan ke suatu patio, ruang tertutup di bagian dalam rumah yang mempunyai bagian yang tak beratap. Patio ini merupakan adaptasi dari ruang pendopo yang kita kenal dalam rumah tradisional Jawa. Secara ruang, fungsinya ialah sebagai ruang peralihan antara ruang gerbang masuk dan ruang keluarga. Sedangkan secara teknis fisika bangunan, untuk meningkatkan penghawaan ruang dalam dan penyerapan cahaya alamiah. Bedanya adalah penghawaan pendopo melalui dinding terbuka, sementara patio melalui atap terbuka.

Melewati patio kita menghadapi pintu kembar, yang merupakan bagian dari terali yang dibuat dari ratusan ukiran bunga cempaka dari kayu jati yang mengingatkan kita akan pringgitan, tempat di mana kelir, layar untuk pertunjukan wayang kulit pada rumah kelas menengah tradisional Jawa berada.

Dalam hal lay out, Sajan Koch menghitung dengan cermat dan memanfaatkan jalannya matahari terbit hingga terbenam. Matahari pagi dimanipulasikan dengan sebaik-baiknya untuk kenyamanan melalui penempatan ruang teras belakang. Juga lebar dan ketinggian overstek yang berada di bagian timur dikalkulasi dengan saksama agar bisa menangkap sinar matahari pagi secara optimal.

Keberhasilan Sajan Koch menggali segala potensi yang ada di Indonesia, bahan, pola dasar, dan keahlian tangan (craftmanship) dan kemudian dirangkumnya dalam satu rancangan bisa dijadikan bukti bahwa merancang rumah sendiri bukanlah hal mustahil. Tentu saja bantuan teknis dari tenaga-tenaga ahli perlu diminta.

Menurut Sajan Koch, membangun rumah dengan memanfaatkan keterampilan keterampilan tangan yang cukup tinggi, hanya bisa dilakukan di Indonesia. Kalau kita melakukan di tempat lain, akan membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi.

Suatu surprise adalah sikap Sajan Koch yang tidak harus merasa memiliki apa yang telah ia lakukan dan kerjakan dalam membangun rumah ini. Ia puas dan tahu telah melakukan sesuatu untuk menjadi bukti bagi generasi berikutnya. Ia juga bisa membuktikan keyakinannya bahwa merancang rumah dengan mengadaptasi pola tradisional terbukti bisa memberi kemungkinan hidup menyatu dengan alam di tengah kota yang lingkungan alamiahnya terbatas. Ia bahkan memberi nama Chidambaram bagi karyanya ini yang dalam bahasa Sanskerta kuna berarti ’tarian jiwa’.

Sajan Koch harus melepaskan rumah tinggal yang ia kerjakan sendiri karena dia harus meninggalkan Indonesia setelah 11 tahun berdiam di sini. Ia hendak berkarya di tempat lain.

Saptono Istiawan SK IAI Arsitek

Rumah Tinggal | Tradisi Membangun Rumah Tinggal


Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872

Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar