Rumah Bandar, Tinggal Nyaman di Tengah Kota
Sadarkah bahwa sebagian besar waktu Anda dalam sehari habis di jalan? Seandainya waktu tempuh dari rumah ke kantor bisa dipersingkat, akan ada waktu dan tenaga lebih untuk beraktivitas di rumah.
Menjadi pekerja eight to five (bekerja di kantor dari pukul 8 hingga pukul 5) memang tak mudah. Masalah yang timbul biasanya berkenaan dengan pengaturan waktu yang ujung-ujungnya berpengaruh pada kualitas hidup. Setelah bekerja seharian, pekerja eight to five umumnya masih harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapai rumah yang terletak di pinggir kota. Rutinitas ini jelas melelahkan dan hanya menyisakan sedikit waktu dan tenaga untuk beraktivitas di rumah, misalnya seperti bermain dengan anak, berberes rumah, menyiapkan makan malam, atau menyalurkan hobi. Padahal, aktivitas-aktivitas di rumah ini sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Sempitnya waktu dan sedikitnya sisa tenaga untuk menyiapkan makan malam, bisa memicu pola makan tak sehat karena mengandalkan makanan sepat saji yang biasanya tinggi lemak dan rendah asupan serat. Minimnya waktu untuk bercengkrama dengan anak juga mempengaruhi pola asuh yang bisa menyebabkan buruknya hubungan orangtua dan anak. Selain itu, kesempatan untuk berolahraga atau menyalurkan hobi juga tak ada, di mana hal ini bisa memicu timbulnya stress dan penyakit degeneratif. Dilihat dari sisi manapun kondisi ini jelas tidak ideal.
Pokok dari permasalahan ini adalah waktu yang habis di perjalanan. Seandainya waktu tempuh dari rumah ke kantor bisa dipersingkat, akan ada waktu dan tenaga lebih untuk beraktivitas di rumah. Solusinya adalah mencari hunian yang lebih dekat/berada di tengah kota. Namun solusi ini tidak mudah dilakukan. Penyebabnya adalah mahalnya harga rumah yang terletak strategis di dalam kota. Atau jika rumah berharga murah, lingkungan sekitarnya kurang begitu nyaman.
Para pengembang bukannya tidak menyadari kondisi ini. Mereka bahkan mengerti, bahwa ini adalah celah untuk menciptakan pasar properti. Karenanya mulai banyak apartemen, rumah susun, atau rumah bandar alias town house di tengah kota yang ditawarkan kepada masyarakat.Opsi yang terakhir disebut, saat ini sedang naik daun dan sangat digemari oleh konsumen properti. Terbukti dengan makin banyaknya rumah bandar yang ditawarkan oleh pengembang di Jakarta plus respon yang baik dari masyarakat. Kompas bulan Mei 2006 menyebutkan, bahwa angka penjualan dan penyewaan rumah bandar rata-rata di atas 80%.
Solusi dan Investasi
Maraknya pembelian rumah bandar ternyata dilatarbelakangi oleh dua hal. Yang pertama adalah keinginan untuk “kembali berumah di dalam kota”. Alasannya jelas kepraktisan dan penghematan waktu. Selain itu, rumah bandar bisa memenuhi keinginan konsumen untuk hidup di lingkungan yang aman, tenang, eksklusif, dengan tingkat privasi yang tinggi. Lebih lagi, rumah bandar yang umumnya hanya memiliki maksimal 30 unit menawarkan fasilitas bersama yang lengkap, seperti kolam renang, pusat kebugaran, jalur untuk berlari/berjalan kaki, dan taman bermain.
Latar belakang yang kedua adalah tujuan berinvestasi. Rumah bandar yang dibeli tidak dihuni oleh pemiliknya melainkan disewakan kepada orang lain, yang umumnya adalah ekspatriat. Beberapa pengembang menuturkan, para ekspatriat menyukai rumah bandar karena relatif jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas, keamanan terjamin, dan akses ke pusat kota cukup mudah. Alasan lain, rumah bandar selalu berada dalam lingkup yang kecil sehingga memberikan lingkungan yang eksklusif.
Menjamur di Jakarta Selatan
Menjamurnya rumah bandar terutama terjadi di daerah Jakarta Selatan. Jika berkendara ke daerah Pondok Labu, Cirendeu, atau Lebak Bulus, maka di sepanjang jalan akan terlihat banyak papan iklan yang memasarkan town house.
Menurut Tulus Santoso (Ketua Real Estat Indonesia/REI Cabang DKI), ini adalah mekanisme logis demand dan supply. Sejak jaman Belanda, Jakarta Selatan dikenal sebagai kawasan ideal untuk pemukiman. Karenanya sampai sekarang permintaan akan hunian di wilayah ini masih tinggi. Namun hal ini tidak diimbangi ketersediaan lahan. Akibatnya harga jual tanah (diikuti harga jual rumah) meningkat tajam. Banyak pengembang hanya mampu membebaskan tanah di daerah Jakarta Selatan dengan luasan kecil. Untuk memasarkan tanah dengan luasan terbatas ini dalam bentuk perumahan, diusunglah istilah “town house” sebagai label. Dari sinilah model rumah bandar mulai berkembang.
Hal senada juga diungkapkan Heru Wicaksono (Arsitek). Banyak pengembang memilih model rumah bandar untuk memasarkan tanah dengan luasan terbatas yang dimilikinya. Dengan membangun 6—10 unit rumah plus menyediakan fasilitas dan keamanan yang cukup, maka kompleks tersebut sudah bisa disebut town house. Lagipula karena kesan eksklusif yang dibawanya, perumahan dengan label town house bisa dibandrol dengan harga jual tinggi.
Pangsa Pasar Terbatas
Harga jual rumah bandar yang tinggi ini memiliki dua sisi yang bisa dicermati. Sebagian konsumen properti suka membeli rumah mahal karena ada asumsi bahwa rumah mahal pasti berkualitas bagus. Selain itu, makin mahal sebuah rumah, makin elit rumah tersebut, makin tinggi prestise yang digenggam pemiliknya.
Di sisi lain, tingginya harga jual membuat pangsa pasar rumah bandar menjadi terbatas, hanya menyasar kelompok ekonomi atas. Sementara kebutuhan akan hunian paling besar berasal dari kalangan menengah. Ini menjadi kritik bagi pihak pengembang, karena saat dicermati lebih lanjut, tidak semua rumah bandar di Jakarta terletak di kawasan yang lalu lintasnya lancar atau berada di kawasan elit. (cia/lia)
Lokasi: Mawar Town House, Pondok Labu, Jakarta Selatan
Sumber: Tabloid Rumah
arsitek rumah tinggal
Jasa Online Desain dan Pemborong Rumah 021-73888872
Desain Rumah Minimalis Design Interior Eksterior Jasa Renovasi Bangunan Arsitektur Moderen Gambar 3D Animasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar